Melihat Keindahan Jawa Tengah



  


 Tahun 2016 menjadi moment yang tidak biasa dilupakan. Memiliki hoby mendaki gunung adalah kesenangan bagi diri sendiri. Tepat bulan Agustus aku bersama kawan-kawan kuliahku (Nana, Agung, Rizki, Wase, Nasrul, Lela, dan Fitri) merencanakan mendaki bersama ke Jawa Tengah, yakni gunung tertinggi ke dua di pulau Jawa yaitu Gunung Selamat. Sempat tak percaya dan tidak yakin untuk mendaki gunung setinggi 3.428 Mdpl, gunung yang terkenal dengan keangkerannya ini, bagiku menjadi tertantang untuk melihat langsung tampak Gunung Slamet.

Dengan kepercayaan dan restu orangtua, akhirnya aku dan teman-temanku berangkat menuju Kabupaten Purbalingga, dan singga di Desa Patemon, tempat kakek dan nenek Rizki. Untuk sampai ke sana kita berangkat menggunakan tansportasi mobil bus tujuan Purbalingga, kita berangkat sekira jam 4 sore dan sampai jam 3 pagi.
 Selama 6 hari di sana, aku dan kawan-kawanku akan menjelajahi Kota Purbalingga. Salah satu tujuan utamanya adalah mendaki Gunung Selamat, setelah beberapa hari kemarin kita menjelajahi Kota Knalpot dan Mendoan, mencari makanan khas dan melihat suasana malam di Alun-alun Kota Purbalingga. Di hari terakhirnya kita mulai mempersiapkan barang-barang yang akan di bawa mendaki.
“Yukk, buruan, mobil udah nungguin,” ujar Rizki kepada kawan-kawan.
“Oke, Ki, otewe,” ucap Nana.
Pagi yang diselimuti embun, membuat tubuhku sedikit menggil. Mobil kijang berwarna hijau yang menunggu di depan rumah, siap untuk mengatarkan kita ke bascemp Gunung Selamet. Untuk mendaki Gunung Selamat kita memilih jalur Bambangan, jalur ini terbilang mudah dan terkenal bagi kalangan pendaki. Jalur ini terletak di Dukuh Bambangan, Desa Kutabaawa, Kecamatan Karangreja, kabupaten Purbalingga.
Dari tempatku berangkat menuju basecamp sekira sejam lebih perjalanan. Untuk mempercepat waktu kita berangkat pagi sambil membeli logistik yang bakal di bawa. Sepanjang jalan mataku dimajankan pemandangan hijau, banyak buah-buah dan sayuran. Hampir setiap rumah memiliki lahan di samping rumah dijadikan tempat memanam buah dan sayuran. Tanah yang subur ini, masyarakat Purbalingga mencari kehidupan menjadi seorang petani.
“Purbalingga, mantap juga yah, ki,” ungkap Nana sambil menatap keluar kaca mobil.
“Iyalah, emangnya kaya di kota! Banyak polusinya,” jawabnya
Kita pun tertawa lepas.
Jalan yang mulai menanjak dan berliku, mengoyangkan tubuh kita ke kanan dan kiri. kita pun hanya bias berdoa semoga mobil yang dikendarai tidak terjadi apapun, sebab setiap tanjakan yang kita lalui mobil Kijang harus bergerung keras, menahan beban kita. Hanya bisa berdoa di dalam hati agar tidak terjadi sesuatu. Susana yang tadinya menegang kini meredup dengan tawa dan candaan. Walapun di hati rada-rada takut terjadi sesuatu.
“Di bawa, happy ajah gaess,” candaa Wase sambil tersenyum.
“Happy dari mana? kalau jalannya kaya begini mah,” ujar Iyoey dengan logat betawainya.
Kita berhenti sejenak di sebuah pasar yang tak jauh dari basecamp, kita pun keluar membagi tugas untuk membeli sesuatu yang dibutuhkan. Ketika pandanganku mengarah jam 12, mataku seketika terhenti melihat Gunung Selamat yang menjulang tinggi menampakan ketampananya yang indah, berkilau disinari matahari dari arah Timur. Aku pun tak sia-sia mengambil moment tersebut, seketika kawan-kawanku mengikuti foto dengan view Gunung Slamet nan indah.
Aku tak sabar ingin berdiri diujung Gunung Selamat tersebut dan menatap Purbalingga dari atas puncak. Setelah komplit kita berangkat menuju basecamp dan bergegas untuk mendaki. Jam 07.00 Pagi, kita mulai mempersiapkan barang dan membagi tugas untuk membawa barang-barang. Pendakianku yang kedua di luar daerah ini, menjadi hal yang rutin aku lakukan setiap tahun sekali. Bukan sekedar hobi untuk menikmati alam bebas dan mengenal daerah-daerah.
“Gimana semua ready?” tegas Rizki bak seperti komandan.
“Oke, siap kapten,” jawab Lela yang sedang memasukan barang-barangnya.
Setengah delapan kita mulai, kita mulai keluar dari basecamp. Sebelum mendaki kita membayar seharga Rp 5.000. Aku dengan gaya khas seperti naik ke Gunung Lawu, dengan memakai kaos kaki bola sampai dengkul, celana pendek, jaket hasil pinjam dari temanku, dan sandal ajaib sudah beberapa gunung lokal maupun luar, aku ajak sandal Eiger. Dengan style, yang terlihat aneh menjadi bullyan kawan-kawanku.
“Mau kemana yoy?” Tanya Wase sambil senyum jahat.
“Gue, mau ikut nyangkul, kamvrett,” jawabku melas.





Kita bergegas foto bareng di plank bernama jalur pendakian Bambang, dengan semangat kita berangkat menuju puncak Selamat. Menurut artikel yang aku baca dari basecamp menuju pos 1, 2, dan 3, butuh waktu 3 jam perjalanan. Aku hanya bisa tersenyum dan melangkah terus, agar bisa berdiri di atas puncak gunung. Ini yang aku sukai dari mendaki, menikmati proses untuk mencapai sesuatu yaitu puncak.
Hamparan kebun kol di sisi jalur pendaki, menjadi pemandangan yang indah. Kita bertemu dan bertegur sapa dengan warga yang sedang berkebun. Walapun jalur yang dilalui perlahan menjak lama kelaman. Di hari yang sama ada beberapa pendaki yang berbarengan dengan kelonpok kita. Saling berkenalan dan saling berbagi senyum.
“Woy, Lel, senyumnya jangan lama-lama kali,” tegur Fitri
“Hahaha, gpp, rezeki senyum, ketemu cowok ganteng,” ungkapnya memandang cowok asal Bandung tersebut.
Sontak, kawan-kawanku tertawa terbahak-bahak.
Tawa dan canda membuat kita, tidak teras sampai di pos 1 bernama Pondok Gemirung, kita istirahat sejenak setelah sejam perjalanan, jalur yang menanjak membuat bahuku terasa pegal-pegal. Di pos 1 ini, terdapat shelter untuk istirahat dan beberapa warung  yang menjual makanan, minuman, dan buah-buahan. Kita istirahat sekira 10 menit, dari kejauhan kita dapat melihat rumah kecil warga dari atas, burung elang berterbangan, suara-suara burung dari berbagai jenis saling bersautan. Sekarang kita ada di ketinggian 1.935 Mdpl.
“Siap, berangkat lagi?” sahut Rizki
“Sabar sebentar lagi ini,”
“Oke, kita berangkat,” ujar Nasrul yang di sapa Acung.
Dari pos 1, kita mulai memasuki hutan. Kali ini tanjakannya lumayan membuat pundak terasa nyeri di tambah tekstur tanah yang basah dan merah, sesekali kakiku terpeleset. Kita pun berhati-hati dalam melangkah. Untuk sampai ke pos 2, kita akan menepuh 1 jam perjalanan.
Trek jalur Bambangan terbilang tak ada jalur landai. Menurut pengalaman temanku yang sudah naik ke Gunung Selamat. Ternyata  kenyataan dan sekarang aku rasakan. Aku terus melangkah menahan beban tas yang aku bawa. Melihat temanku ada yang lebih berat dari tas yang aku bawa, kadang langkah kakinya sedikit melambat menahan bebas keril yang lumayan berat, kadang kita saling bergantian membawa keril untuk mengurangi sakit di pundak.
“Iyoey, gantian bawa kerilnya,” keluh Nana sambil engos-engosan
“Oke, kalau begitu,” jawabnya sambil memakai keril.
Setelah tas keril itu menyangkut dipundaku, ternyata bebannya bak seperti mengangkat karung beras 1 kilo. Langkah kakiku pun tak seperti tadi normal, setelah berganti beban tas, langkah kakiku kini melambat. Luar biasa sekali, tapi ini latihan untuk diriku saling bekerjasama. Lima belas menit kita berjalan, terlihat plank pos 2 di atas pohon.
“Alhamdulilah, sampai pos 2,” ujar Iyoey kecapean.
“Iyoey, sini gue yang bawa,” tawar Agung.
“Oke, kalau begitu,”
Perut mulai berkumandang, kita pun mengelar kertas nasi makan berbarengan di tengah hutan. Nikmat yang tidak tara, candaan dan tawa menemani makan kita. Pohon-pohon tinggi menjulang tinggi mengoyakan batangnya yang terbawa hembusan angin, perut yang sudah teriisi membuat tenaga kita terkumpul kembali. Di pos 2 ini, kita berada di ketinggian 2.220 Mdpl, berupa tanah datar yang cukup luas untuk beristirahat dari lelahnya tanjakan di pos 1.
Area ini cukup teduh dengan dipayungi pepohonan besar, akarnya bisa digunakan untuk duduk maupun bersadar melepas lelah. Perut teriisi menambah asupan tenaga baru, mulailah kita berangkat ke pos selanjutnya.
Perjalanan menuju pos 3 sedikit lebih ringan namun tetap menanjak di tengah lebatnya hutan dan semak-semak hingga pos 3. Asupan tenaga yang membuat bangkit dan berjalan terus menuju pos selanjutnya. Tak hanya asupan tenaga yang dapat memberikan semangat. Dua pendaki wanita (Fitri dan Lela)  ini menjadi tambahan semangat baru bagi kaum hawa, bila melihat Fitri dan Lela, tas keril yang segitu beratnya bila menatap wajah yang cantik membuat semangat makin membara.
Tanjakan demi tanjakan kita lalui, tak terasa badan. terutama pundak mulai memerah menahan beban tas yang di pakai. Salah satu yang lebih para dariku adalah temanku, dengan menahan tas keril yang menurutku isinya seperti berisikan batu. Luar biasa sekali trek terus menanjak dan menanjak ini membuat betis dan dengkul harus bekerja paling berat menopang badan. Seketika betis dan dengkul ini merasa pegel-pegel.
Dari kejauhan Rizki melambai-lambai, “Hayu, sini pos 3 udah sampe,” triaknya lantang. Aku pun menjawab, “Serius Ki, udah di pos 3,”
Dengan sekuat tenaga aku bergegas menuju pos 3. Saking semangatnya, sakit di pundakku tak teras ingin cepat-cepat istirahat. Temanku saling balapan, saling sengol-sengolan.
“Wihh sabar, tenang ajah pos 3, nggak bakal ilang,” ujar Nasrul disenggol Nana yang lagi terburu-buru.
Kita pun tertawa terbahak-bahak.
Pos 3 yang dikenal dengan nama Cemara ini, berada di ketinggian 2.465 Mdpl. Tak terasa kita sudah 4 jam perjalanan, di pos ini kita tidak terlalu lama karena mengejar waktu untuk sampai di pos 7 target. Pos 3 tidak telalu luas tidak seperti pos 2, cukup untuk beberapa tenda bila ada yang ngcamp di pos 3. Udara sepoy-sepoy dan matahari cerah, berasa hari itu sangat beruntung sekali. Dengan seteguk air putih yang mulai mendingin merasa tubuh mulai kembali segar.
Teman-teman mulai kerasa badan yang mulai sakit efek dari tas dan barang bawan. Ada yang menempelkan koyo atau balsam untuk menetralisir rasa nyeri dari gesekan tas keril. Sedikit demi sedikit botol yang tadinya berisi air, kini semakin berkurang tinggal embun akibat dinginnya udara. Sepuluh menit pas, waktu kita untuk berangkat kembali menuju Samarantu pos 4.
“Hayo, buru, perjalanan kita masih panjang, kita ke pos 4 Samarantu,” tegas Rizki.
“Samarantu,” kaget Iyoey. Sambung Wase, “Wiss tenang ajah amanko,” nasehatnya sambil menepuk pundakku.  
Kita pun meranjak meninggalkan pos 3, meluncur menuju pos 4 Samarantu. Seperti biasa tanjakan masih mendominasi. Jalur yang terus menanjak dan menajak sampai kita menemukan jalan akhir dari tanjakan yaitu puncaknya. Badan yang mulai berasa harus kita tahan selama 10 jam, bro.
Kisah Pos 4 Samarantu
Samarantu terdengar tak asing di telingaku, dari beberapa pos yang telah aku lewati. Kebiasaanku sebelum berangkat atau mendaki mencari tahu tentang gunung tersebut. Ketika mencari tahu tentang Gunung Slamet yang pasti keluar adalah cerita-cerita seram termasuk nama Samarantu. Konon cerita yang aku dapat di sebuah artikel perjalanan yang mendaki Gunung Slamet, pos ini menjadi tempat makhluk gaib berkumpul dan biasanya menjaili pendaki yang ngecamp di tempat. Maka dari itu banyak yang menuliskan kemistisan di pos Samarantau. Hampir ceritanya sama dan menyarankan untuk tidak ngecamp di pos tersebut.
Kita pun hanya terdiam dan menikmati perjalanan mendaki ini dengan jalur yang mulai semakin menanjak, sepertinya jalur ini tidak meniyasakan jalan datar. Beberapa teman sebagian sudah mengetahui tentang hal-hal yang harus dihindari dengan cara mencari sumber yang ada di google, salah satunya yang paling tahu adalah Samarantu . Untuk mencairakan suasana canda dan bullyan dari teman-temanku agar bisa menahan pegelnya pundak dan memendam tentang pos Smarantu.
Jarak yang kita tempuh dari pos 3 ke 4 terbilang cepat hanya memakan waktu 40 menit. Memang jarak dan waktunya lumayan mudah tapi jalurnya semakin menanjak. Gile nih, makin tinggi makin menjadi-jadi tanjakannya, gumamku.
Di pos 4 ini kita hanya numpang lewat, untuk mempercepat target kita untuk ngacamp di pos 7. Ketika sampai di pos 4, tempatnya seperti pos-pos sebelumnya hanya saja luasnya tidak luas, malah semakin kecil.
“Gimana lanjut istirahat di pos 5 sekalian kita makan dan ambil minum atau berhenti untuk istirahat, lumayan nggk terlalu jauh,” jelas Kuple sapaan teman-temannya.
“Yah sudah, kalau gitu mah, mendingan kita lanjut sekalian makan di pos 5, gimana teman-teman?” Tanya Nana kepada teman-temannya.
“Yaudah kita berangkat,”
Kita pun melanjutkannya pos 5 untuk makan dan istirahat.
“Ple, kalau siang mah Samarantu biasa-biasa ajah yah,” bisik Iyoey kepada Kuple.
“Hahaha, yah kagalah, kalau lu pengen ngerasain ngacamp ajah disitu,” candanya
“Suee beud,” kesel iyoey.
Kalau siang kelihatanya biasa tetapi kalau malam menjadi luar biasa. Aku hanya bisa memandangi setiap sisi dan pohon-pohon dengan sekilas, lalu melanjutkan ke pos selanjutnya yaitu pos 5. Dari pos 4 ke 5 cukup deket hanya 20 menit. Ternyata ini toh, Samarantu yang dituliskan di bolg, gumamku sambil terus berjalan menuju pos 5.
Target Pos 7 
Udara yang mulai menembus jaket tebal yang aku pakai, akibat keringatan di dalam baju alhasil baju terasa dingin. Jalan terus menanjak menembus hutan, matahari mulai bergeser ke arah Barat. Dua puluh menit berjalan akhirnya kita sampai di pos 5 bernama pondok mata air. Di sini kita mengisi amunis air yang bakal di bawa ke pos selanjutnya. Di pondok mata air, banyak pendaki yang mendirikan  tenda sekira 2 yang akan bermalam di sini.
Kita pun bersapaan dengan pendaki yang lain.
“Bang, makan-makan nih,” tawar Agung kepada pendaki yang sedang santai.
“Iyah…iyah Bang,” jawab laki-laki asal daerah solo.
Dengan lahapnya  kita berebut seperti orang kelaparan. Orang yang di sekitar memandangi  kita, kita pun mengabaikannya. Kebersamaan ini bakal kita kenang sampai memiliki cucu. Hal seperti ini yang ku senangi dari seorang pendaki kebersamaannya erat sekali. Candaan tak lepas walapun dalam keadaan lapar. Udara yang semakin menusuk kakiku yang tak berselimut, mengambil celana olahraga panjang aku pakai. Lumayan, menghilankan dingin walapun sedikit, gumamku sambil memakai celan panjang olahraga.
Perut yang sudah terisi sambil menyenderkan kaki, sungguh nikmat tiada tara. Dari kejauhan dateng seorang pendaki laki-laki menuju tempat kita dengan membawa secangkir kopi hitam panas, laki-laki itu pun memulai percakapan dengan menawarkan secangkir kopi hitam dan roko Dji Sam Soe kretek.
“Ngopi bang, ngomong-ngomong dari mana nih?” Tanya seorang pendaki memakai baju kemeja kotak-kotak. Agung menjawab, “Dari berbagai daerah bang, ada yang Banten, Bogor, sama Jakarta,” sambil mengosok-gosok tangan yang mulai dingin.
“Ngacamp di pos 5 bang?” sambung Nasrul.
“Iyah nih, di sini ada mata air jadi ngcamp di sini ajah, nanti pagi baru lanjut ke puncak,” jelasnya
Saking asiknya ngobrol, kopi yang tadi panas kini berubah menjadi dingin akibat udara yang mulai dingin. Matahari yang mulai bergeser ke arah barat, kita pun pamit untuk segera berangkat menuju pos 6 dan 7.
“Kita duluan yah, bang?” ucap Agung
“oke siip,” jawabnya.
Kali ini kita buat beberapa grup, Rizki sama Nasrul sudah berangkat menuju pos 7 untuk mempersiapkan tenda tinggal memasukan barangnya ke dalam tenda. Aku, Agung, Nana, Fitri, dan Lela, grup kedua. Karena kedua wanita cantik ini begitu lama, faktor mulai lelah terlihat dari raut wajahnya yang bercucuran keringat. Dari pos 5 ke 6 tanjakan mulai semakin meninggi, tanah berubah menjadi debu dan pasir.
            Kita pun saling berkerjasama saling bahu membahu.walapun sesekali terpeleset, dengan hati-hati dan pelan. Tekstur tanjakan yang berpasir dan berdebu setiap sepatu bergesek ke tanah, kita harus menutup hidung agar tidak terhirup. Badan yang sudah letih harus kuat menahan beban yang dipikul.
            “Hayoo, semangat dikit lagi sampai pos 6,” ujarku menyemangati teman-teman.
            Lima belas menit berjalan, kita pun bertemu pos 6 yang beranama Samayang Rangka. Untuk beristirahat sejenak meregangkan otot-otot kaki dan pundak. Pos 6 ini terbilang mirip sepereti pos-pos sebelumnya hanya saja ukuran lebih sempit sekira tiga tenda muat untuk dijadikan ngecamp. Huftt, keluhku sambil mengusap keringat di wajah. Jalur yang mulai terbuka dan pepohonan tidak lagi padet, semakin bisa memandang ke kejauhan hamparan hijau pepohonan.
            “Oke, kita berangkat lagi, pos 7 nggak jauh dari pos 6,” komando Nana dengan semangat.
            “Oke, berangkat, semanagat, yooh,” teriakku.
             Dari pos 6, jalur yang kita mendaki berupa tanah datar sempit yang ada di jalur pendaki. Dari pos 6 ke pos trek mulai terbuka dan pemandangan di sekitar mulai tampak. Sebelum pos 7 ada sebuah dataran yang bisa untuk mendirikan tenda. Setelah itu, tinggal melewati tanjakan sempit dan akan tiba di pos 7. Bunga Edelwis mulai terlihat walapun bunga belum mekar, tetapi terlihat indah.
            Nafas yang mulai rada sedikit seseak, akibat kadar oksigen mulai menipis di tambah udara yang mulai merasuk lebih dingin. Setelah dilihat kita mulai melewati batas vegetasi, terlihat pohon berwarna hitam bak seperti arang. Matahari yang mulai tenggelam, terlihat menawan sesekali mengabadikan dengan foto. Jam menujukan setengah enam, pos 7 tidak kunjung ketemu. Hati yang mulai was-was karena dua teman lainnya seperti sudah sampai di pos 7. Namun sebagian lagi termasuk aku, belum mengetahui dimana letak pos 7 tersebut.
            “Weehh, pos 7 nya dimana nih?” keluh Nana sambil memegang pinggalnya yang mulai pegel
            “Udah jalan ajah terus, nanti juga ketemu,” hemat Agung.
            Kita hanya bisa mengikuti jalur yang terlihat seperti sudah dilalui oleh para pendaki lain. Jalur yang semankin sempit dan sisi pemandangan yang menyeramkan jurang-jurang yang tajam membuat kita berhati-hati. Perempuan yang mulai terlihat lelah sekali, harus di paksa sampai ke pos 7. Aku pun saling tarik menarik, karena tanjakan licin dengan pasir. Lela dan Fitri sering sekali terpeleset tidak jarang kedua permpuan itu membuat kita tertawa, karena perbuatannya baju yang ia pakai kotor dengan debu dan pasir.
            “Ple…Plee..Cungg..Cunngg,” teriakku keras
            “Plee…Plee… dimana?” teriak Nana yang mulai mengikuti.
            Dari kejauhan terdengar suara.
            “Oyy, dikit lagi sampai nih,” teriak Rizki dari kejauhan.
            “Hayoo, dikit lagi sampai nih, sepertinya suara si Kuple nggak terlalu jauh,” ucap Wase denga yakin itu suara Rizki.
            Karena mistis di Gunung Selamat jangan main-main, bilang kita menyaut pasti ada yang menyaut. Entah siapa yang menyaut, karena mistisnya seperti itu. Dengan yakin kita terus berjalan menyusuri arah suara tersebut dari kehalangan pohon terlihat seperti atap rumah. Semakin dekat, terlihat kedua temanku yang sudah standby sambil melambaikan tangannya.
            “Di sini, uyy,” teriak Rizki melambai-lambai.
            Kondisi badan yang lelah dan oksigen yang sedikit menyesakan pernapasan, akibat belum terbiasa. Akhirnya tenda yang sudah berdiri tegak walapun hembusan angin yang begitu kencang, tidak membuat tenda yang kita pakai tak tergoyahkan.
            Pos 7 ini kita ada di ketinggian 2.990 Mdpl. Dari sini menurut artikel yang aku baca kita bisa melihat beberapa gunung, seperti Gunung Prau, Gunung Sindoro, Gunung Sumbing, dan Gunung Merbabu. Tapi sayang, waktu itu, kabut mulai naik sehingga tidak terlihat gunung-gunung tersebut.
Matahari kini tengelam berganti bulan menerangi gelap di Samyang Jampang, angin yang tak seperti biasanya kini berubah seperti kipas angin bervolume 6. Serasa tenda yang aku tempati bergoyang bak sedang mengarungi lautan yang bergelombang tinggi. Kebetulan aku dan Rizki menemani dua perempuan dan tenda satu lagi diisi laki-laki. Udara yang dingin membuat perut keroncongan. Rizki pun mulai beraksi dengan panci dan mengaduk-ngaduk, entah apa yang dia aduk. Memasukan bayem, wortel, dan cabai. Aroma sayur yang di buat Rizki, harum semerbak masuk ke tendaku.
“Ple.. kyanya menarik tuh sayur,” godaku
“Mantaplah,” jawab Rizki dengan yakin.
Setelah matang kita pun, menikmati sayur yang di buat oleh Rizki. “Ternyata teman gue yang satu ini jago masak juga,” puji Fitri sambil mencicipi sayur bayem. Selain aku, perempuan yang satu tenda memiliki lidah dengan rasa yang sama, “Enak juga Ple, seger-seger gimana gitu,” ujar Lelah dengan lahapnya.
Perut yang mulai menonjol, akibat kebanyakan makan. Membuat mata ini menjadi ngatuk setelah lelah mendaki tanjakan yang amat-amat jauh. Di naungi oleh bintang-bintang, mengingatkanku saat mendaki Gunung Lawu serupa dengan Gunung Selamat bintang-bintangnya bersinar.
“Oke, besok kita berangkat menuju puncak bangun jam empat, yah,” pesan Rizki sebelum tidur.
“Oke, siap komandan,”
Resleting sleeping bandku tutup rapat, agar dingin tak menembus badanku. Waktu anginnya sangat kencang sekali tak berhenti-henti mengoyahkan tendaku. Hanya bisa mengabaikan angina yang sangat kencang, aku pun memaksa mata untuk tidur dan berharap mimpi yang indah di atas Gunung Selamat.
Pagi yang Indah dan Menyeramkan
“Pegang senter sendiri-sendiri, yah. Awas jangan sampai ada yang ketinggalan,” suruh Rizki
“Jam berapa emng  ini, ki?” ucap Nana dengan wajah bingung dari tidurnya.
Udara yang sangat amat dingin, bener-bener menusuk tubuhku bahkan sampai ketulang. Jam setengah tiga kita mulai bersiap-siap untuk summit di puncak. Angin yang masih bervolume tinggi menambah mencekam pagi itu. Aku yang memakai celana pendek, dengan kaos kaki panjang seperti pemain bola. Merasa ujian paling berat beud, kaki mulai mati rasa saking dingin pagi itu. Aku hanya bisa memanjat doa kepada-Nya, bila ajalku di sini rela.
“Sudah, siap semua? Jam sudah menunjukan angka tiga, nih,” kata Rizki
“Oke, semua ready ki,” jawab Fitri dengan semangat.
Perjalanan di mulai, gelap gulita ku belah dengan cahaya lampu yang berada di kepalaku seperti orang-orang proyek. Langkah demi langkah ku tapaki, dingin yang terus menerus menusukku. Pengalaman pertama aku muncak jam tiga pagi. Tapi kali ini, aku akan lalui tantangan ini, untuk sampai puncak Gunung Selamat.
Tarik menarik pun mewarnai kerjasama kita, tanjakan demi tanjakan kita lalui bersama. Nafas yang mulai sesak, karena oksigen semakin mendaki semakin mengurang. Aku pun harus hemat nafas, melalui mulut. Selain itu, kita harus banyak bergerak jangan sampai tubuh tidak bergerak, bisa-bisa akan terjadi hipotermia akibat kedinginan yang ekstrim. Perlengkapan yang ku pakai hanya seadanya seperti tak pakai sarung tangan, sesekali beberapa jariku membeku dengan sigap mengerakan tangan.
“Ki..ii.. sampai puncak bbbrrapa jam?” tanyaku dengan gemeter.
“Sekira satu jam lebih, lah,”
Kulit hidung yang mulai membeku dan daun telinga membeku, aku harus berjuang sampai ke puncak dan bertahan dengan sekuat tenaga. Menurutku waktu itu, cuacanya tidak seperti ini, angin yang sangat deras hingga menusuk ke tulang. Untung ajah, nggk hujan bisa berabe lagi, keluhku dalam hati.
Kita pun terus berjalan mendaki, menyusuri jalur yang di dominasi tanjakan dan pasir ini, membuat kita sangat berhati-hati. Sedikit saja terpeleset, bisa jatuh sisi jurang yang berisakan pohon-pohon dan rumput yang menjulang tinggi. Kita terus melangkah ini tangtangan yang sangat luar biasa kawan. Kala itu, aku hanya pasrah diri bila harus berakhir di sini.
Lima belas menit mendaki, kita sampai di Palawang. Ketik senterku sorot ke atas, batu besar dan kerikil sangat menyeramkan. Aku hanya membayangkan bila gunung ini bergoyang batu-batu itu akan mengilas tubuh yang kecil dengan mudah. Jalur menuju puncak Gunung Slamet semakin menarik dan menantang. Layaknya trek pasir Gunung Semeru, seperti yang diceritakan temanku yang pernah ke Semeru. Jalur pendaki yang dilalui cukup terjal dari bebatuan dan kerikil yang labil. Selain itu, batu yang dipijak juga rawan jatuh dan longsor di sepanjang jalur pendaki. Tidak ada pohon untuk menjadi pegang jadi pendakian menuju puncak Slamet.
            Dengan berhati-hati langkah kaki memilah batu mana yang harus ku pijak, salah saja dalam memijak orang yang ada dibelakangku akan tertimpah batu. Angin yang semakin kencang, semakin menusuk ke dalam tubuh. Serasa jaket yang ku pakai tidak bisa menghangatan tubuhku lagi. Sejenakku berhenti untuk istirahat sejenak, angin yang semakin kencang membuat beberapa bagian tubuh tak bergerak.
            “Gerakin tubuh lo, biar nggak terjadi sesuatu,” tegas Rizki kepadaku
            “Ini udah gue, gerakin tapi tetap ajah,” gemetaranku.
            Kini aku, Rizki, dan Nasrul, bersembunyi di alang-alang untuk beristirahat sebelum lanjut mendaki. Sebagian ada yang terus mendaki, aku yang tidak memakai sapu tangan mulai mati rasa. Setelah cukup istirahat aku melanjutkan kembali, kini kaki dan tangan harus bekerjakeras seketika aku berupa menjadi Sepiderman. Jari-jariku kini dalam keadaan tidak baik, sehingga batu yang genggam sesekali tak berasa apapun ditambah semakin-semakin menusuk ke pembulu darahku. Aku hanya bisa berdoa dan terus berdoa agar diberi keselamatan.
            “Ple, jangan cepat-cepat, tangan gue mati rasa,” teriakku kepada Rizki.
            “Lo, gerakin ajah terus jangan sampe berhenti,” sarannya.
            Bibir mulai mengering, gigi mulai gemetaran. Aku terus memaksakan dengan hati yang mulai was-was akan terjadi sesuatu. Ketika senterku mengarah ke samping banyak bunga tujuh rupa dengan batu yang bertuliskan nama seseorang, hendak melihat lebih dekat. Ternyata itu makam, orang yang meninggal.
            “Bssst, ple, samping gue makam,”ucapku dengan kaget.
            “Lah, iyah…yah,”jawabnya dengan logat Betawi
            Aku semakin takut dan was-was akan tejadi sesuatu. Dua puluh menit berlalu, sinar berwarna kuning sedikit menyorot dengan tajam. Ketika menoleh ke arah Timur. Gileee, eh, Subhanallah indah banget pemandanganya, ucapku pelan dengan bibir yang mengigil.
            Pendakianku semakin semangat melihat keindahan alam Indonesia. Ketika hendak mendaki, tiba-tiba temanku berteriak, “Uyy, pegangin tangan gue, merosot nih,” teriak Lela dalam keadaan badan tengkurep.
            “Sini,  Le, pegang tangan gue,” ujar Habsy sambil mengulurkan tangannya yang tidak sampai.
            “Susah Bi, kalau gue paksain bakalan merosot,” ungkap Lela mulai panik.
            “Udah, paksain Lel, tenang di bawah ada Nana,” timpal Hasby dengan yakin.
            “Yaudah, pegang Lel, gue jagain dari belakang,” Nana mulai menahan kakinya.
            Aku, Rizki, dan Hasby, hanya bisa melihat drama Lela yang sedang panik. “Uyy, bantuin nih, malah ngeliatin,” omel Hasby yang sedang menarik tangan Lela.
            “Haa.. udah terus ajah nnti juga bisa,” dengan entengnya Nasrul.
            Akhirnya kepanikan itu berlalu, Lela yang tadinya panik kini melanjutkan pendakiannya. Walapun hatinya seperti merasa was-was kejadian yang barusan terjadi. Aku, Rizki, dan Nasrul, berhenti sejenak untuk istrahat sambil memandangi lautan awan nan indah, dari kejauhan kelihatan dua gunung kembar Gunung Sindoro dan Sumbing. Padahal baru di pertengah Gunung Selamat, sudah kelihatan gunung tersebut, apalagi kalau di puncaknya.
            Negeri di Atas Awan   
            Angin semakin kencang, matahari kian memunculkan sinarnya. Tanganku memegang batu kecil dengan susah payah aku mengangkat tubuhku yang kecil ini. Setelah berhasil memanjat terakhir, aku terduduk. Menarik nafas dalam-dalam sambil menhadap ke arah Timur tempat terbitnya matahari.
            “Aaaaakkuuu, berhasiiiiilll,” teriakku dengan lantang.
            Kini harapakanku terwujud bisa memuncaki gunung tertinggi ke dua di Jawa ini. Hati yang senang, serasa perjalananku terbayar sudah pemandangan yang sangat sangat indah sekali. Dingin yang menusukku kini bercampur dengan kebahagianku. “Yoeeyy, di sini,” Wase melambaikan tangannya. Aku pun melanjutkan perjalanan menuju lambaian tangan.




       Angin yang sangat deras menghebus, sesekali menghempaskan badanku hingga bergoyang dan menahannya. Sesampainya di tempat teman-teman berkumpul, kita duduk berbarengan bergadengan tangan sambil memandang mengarah ke Timur.
“Gilee, bro, dingin bener,” ujarku kepada teman-teman.
“Dinginnya sampe ke ubun-ubun,” ungkap Nana sambil berselfie ria.
Kulit wajah semakin membeku, di tambah badan semakin mengigil. Lihat di samping, dengan santainya Wase di peluk oleh Fitri.
“Wedehh, menang banyak Wase,” ledek Nana.
“Bebas, boyy,” jawab Wase dengan santai.
 Kita pun tertawa terbahak-bahak mendengarnya.
Kebahagian bersama teman-teman tidak dapat dilupakan dan selalu diinget sampai kita sudah memiliki keluarga masing-masing. Dan menceritakan sejuta kisah kita saat mendaki Gunung Selamat. Matahari pagi ini menjadi saksi sebuah perjalanan yang sangat menegangkan.
Aku melangkah menuju tiang trigulasi, sebuah titik dari puncak Gunung Slamet. Bendara merah putih berkibar dan terikat kencang di tiang trigulasi. Moment ini pun aku abadikan sambil mengengam batang kayu dan terikat bendera merah putih. Ada rasa bangga dan bahagia tercampur, bisa sampai puncak tertinggi ke 2 di pulau Jawa ini.
Ketika hendak memberikan bendara kepada temanku yang juga ingin mengabadikan moment, aku melihat batu nisan di bawah tiang trigulasi ada beberapa nama tertulis di batu tersebut. Aku berjongkok dan mengelus batu nisan.
Allaahummaghfirlahu warhamhu wa'aafihii wa'fu anhu wa akrim nuzu lahu wa wassi' madkholahu waghsilhu bilmaai wats-tsalji walbarodi wanaqqihi minal khothooyaa kamaa yunaqqots tsaubul abyadhu minaddanasi wa abdilhu daaron khoiron min daarihi wa ahlan khoiron min ahlihi wazaujan khoiron min zaojihi wa adkhilhuljannata wa 'aidzhu min 'adzaabilqobri wafitnatihi wamin 'adzaabinnaari, doaku dalam hati.
Dan bersyukur aku yang bisa sampai menapaki kaki di puncak Gunung Slamat menjadi sebuah anugrah yang patut aku syukuri, diberikan kesehatan untuk mensyukuri lewat panorama nan indah. Diriku kini bagaikan berada di negeri awan, dimana pun mataku melihat hanya segumpalan awan yang tebal. Dan sebuah keberuntungan bertemu dengan teman-teman yang bisa bekerjasama.
“Hayo, foto bareng dund, kapan lagi kita bisa bareng-bareng,” ungkap Fitri dengan semangat.
“Hayolah,”
Kita pun berpegangan tangan menghadap matahari yang kian meninggi, awan sedikit demi sedikit memudar. Foto ini jadi sebuah kenangan yang tidak akan bisa dilupakan. Badan yang semakin tak kuat menahan udara yang semakin menusuk-nusuk badan. Dan kini tinggal cerita, puncak Gunung Slamet. Matahari yang semakin meninggi, kita pun harus mengakhir perjalanan di puncak Gunung Slamat.
Sampai jumpa lagi 3.428 Mdpl, puncak Gunung Slamet, gumamku dalam hati sambil memandang kawah yang menganga mengeluarkan asap dari kawahnya.
Kita pun berbondong-bondong balik ke tenda untuk membereskan barang-barang untuk kembali ke rumah kita masing-masing. Akhirnya perjalanan 5 hari di Kabupaten Purbalingga ini menyimpan sebuah cerita yang mendalam dari makan khasnya mendoan dan tempat pembuatan Knalpot. Masyarakat yang ramah membuatku betah untuk berlama-lama di Purbalingga ini. Kabupaten Purbalingg suatu hari nanti kita akan bertemu kembali, see you.

You May Also Like

0 komentar