Belajar Kesederhanaan Suku Baduy





Bersyukur Banten memiliki banyak suku dan budaya yang tersebar di polosok daerah Banten, itu menadakan betapa kayanya Banten. Selain itu, Banten juga kaya wisatanya. Salah satu suku yang bisa di bilang terkenal adalah Suku Baduy berada di kaki pegunungan Kendeng tepatnya alamat Kampung Baduy ini adalah di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar. Suku Baduy sudah lama ada di Banten sejak Sultan Maulana Hasanuddin Banten, bahkan ada yang mengatakan sebelum ada sultan suku ini sudah hadir di Banten.

Banyak orang dari luar daerah mapun lokal Banten yang sering mengunjungi Wisata Baduy, kebanyakan setiap hari Minggu banyak yang mengunjungi tempat tersebut. Termasuk aku yang tak pernah bosan untuk mengujungi Suku Baduy yang kaya akan alamnya. Kemarin menjadi ke-lima kalinya aku berwisata ke Baduy. Yang menarikku untuk datang lagi ke Baduy adalah alamnya yang benar-benar asri dan fresh. Air sungai yang jernih suasana desa kampung yang sangat indah di pandang mata, terkadang menjadi tempat merenung cocok sekali karena susananya yang tak terlalu bising.
Dari perjalanan Baduy juga aku akan banyak belajar tentang kehidupan Suku Baduy seperti mematuhi peraturan adat dan budaya gotong royong. Pada saat ke Baduy, pandangan pertama memasuki wilayah Baduy Luar terasa ada yang berubah, berbeda setahun yang lalu saatku berkunjung ke Baduy. Salah satu yang berubah adalah dari pakaian sekarang berpakain berwarna khas Baduy Luarnya yakni hitam hampir setiap rumah memakai baju tersebut, lalu tidak memakai sandal, dan pakain moderan lainnya. Aku pun penasaran ingin mencari tahu perubahan tersebut.
Aku bertemu dengan kawan lama orang Baduy Dalam bernama Idong, yang pertama kali datang ke Baduy di guide oleh Idong. Sebagaimana kawan lama banyak bercengkrama banyak hal tentang keadaan Baduy Dalam sampai keluarga Idong. Selama perjalanan aku terus melontarkan pertanyaan kepada Idong salah satunya pakaian Baduy Dalam yang sekarang hampir semua memakainya.
“Dong, tadi saya liat Baduy Dalam sekarang hampir semua keluarga memakai baju warna hitam, perasaan kemarin banyak yang memakai baju moderan,” tanyaku sambil jalan santai
“Oh itu, peraturan adat harus memakai baju ciri khas Baduy Luar sama Pu’unnya, jadi wajib memakai baju hitam,” jawabnya dengan santai berjalan
Pantas saja, saat berjalan di pinggiran jalan banyak pakaian-pakaian berserakan di luar bahkan barang-barang seperti kompor, termos, dan galon. Ternyata barang-barang tersebut yang terkena razia oleh pengurus adat hampir semua kampung di razia. Usul yang sangat bagus membuat peraturan adat yang mengharuskan kembali ke ciri khas Baduy Luar, dengan merazia setiap kampung.
“Menarik tuh, Dong, diadain razia setiap bulannya,” tuturku senang
“Iyah,”
Mendengar berita tersebut aku merasa senang sebab budaya Suku Baduy harus terus di jaga sampai anak cucu kelak, jangan sampai terhanyut oleh zaman. Saat setahun lalu aku melihat Baduy Luar sempat bingung di mana Baduy Luarnya, karena banyak memakai baju-baju moderan seperti orang-orang kota sempat ada rasa prihatin Suku Baduy Luar ini akan hilang terhanyut zaman. Tapi saat mendengar berita ada razia setiap bulannya oleh pengurus adat.
Sedang asik ngobrol dengan Idong saat di perjalanan, aku tak sengaja melihat banyak pipa terpotong dengan sengaja. Aku pun berhenti sambil menujukan pipa yang terpotong kepada Idong.
“Bentar Dong. Pipanya ko, kaya ada yang potong tadi juga saya liat banyak pipa yang di potong juga,” tanyaku heran.
“Oh itu, sengaja oleh pengurus adatnya pipa yang di sambung lalu di salurkan ke kampung-kampung, soalnya lagi musim kemarau jadi cukup satu aliran air, diganti sama bambu,” jelas Idong sambil membawa tas keril.
Sempat bingung padahalku liat tadi tanah-tanah yang dilalui lembab basah seperti terkena air hujan tapi faktanya Baduy sedang musim kemarau. Aku pun tambah yakin kalau di Baduy sedang musim kemarau, saatku hendak istirahat melihat sungai di dekat Kampung Gazebo sedikit keruh lumut berwarna hijau. Walapun sedikit berwana hijau tetap nikmat saat air itu menyetuh wajahku yang lelah. Aku bersantai sambil menyeburkan kedua kaki ke sungai. Kawan-kawanku pun mengikutinya.
“Airnya segar yah,” ujar Somad dengan nada Sunda
“Iyah, tapi masih segeran di Bandung,” pendapat teman Somad yang berdomisili Bandung ini.
“Nggak kalah ken, airnya kaya di Bandung,” timpalku
Ketawa-ketiwi bersama anak-anak Bandung dengan nada Sunda khas Bandungn yang bikin suasan semakin bahagia, melepas lelah berjalan dari Ciboleger sampai ke Cibeo. Moment bahagian ini pun harus sirna saat melihat masyarakat Baduy Luar di ujung sungai sekitar 10 meter anak kecil dan ibu sedang berjongkok sambil mengeluarkan kotoran. Kita pun serentak lompat langsung ke darat.
“Ada bom, ada bommm, lari,” berbisik ke pada teman-temannya sambil melihat orang Baduy yang sedang berjongkok.
“Iiihh,” jijknya
“Biarkan saja,” aku pun menenangkan suasan yang sempat menegang.
Aku pelan-pelan menjelaskan kepada anak-anak dari Bandung, tentang peristiwa tersebut. Mereka pun memahaminya karena di sini sungailah tempat mandi dan buang hajat. Ini menjadi hal menarik yang kadang kita tidak dapat lihat di daerah masing-masing walapun ada itupun jarang tidak sesering di Baduy. Suasana ini bikin bernostalgia saat daerahku seperti yang di lakukan oleh orang-orang Baduy sungai menjadi tempat WC tapi sekarang sudah berubah menjadi gedung-gedung tinggi yang terus menyerempet kampung sehingga terhimpit oleh gedung-gedung.
Aku, Idong, dan kawan-kawan melanjutkan perjalanan menuju Kampung Cibeo sekitar 5 jam kita akan sampai ke sana. Langkah demi langkahku jalani melewati batu-batu yang tersusun rapi. Naik dan turun terus mendominasi trek perjalanan. Sesekali aku merasa aneh melihat banyak sebagian lereng-lereng bukit di bakar tapi tak semuanya di ratakan oleh api.
“Dong, itu lereng-lerengnya di bakar sih, nanti nggk longsor,” penasaranku sambil menujuk tempat tersebut
“Oh itu, buat menanam padi,” tutur Idong
“Di sebutnya apa tuh Dong?”
“Namanya Padi Gogo,”
Padi Gogo sebutan Suku Baduy biasanya untuk Padi Gogo ini dilakukan saat musim hujan tiba, biasanya masyarakat Baduy mempersiapakan sejak sebulan atau dua bulan seblum menanam. Pantas saja banyak lading di lereng bukit yang pitak. Lerengnya pun tidak tanggung-tanggung kemiringannya bisa sampai 90 sampai 60 derajat. Tradisi ini sudah dilakukan oleh Suku Baduy terdahulu, biasanya setelah panen beras tersebut bisa menjadi alat barter dengan yang lain berupa makanan juga tapi dewasa ini aku jarang melihat transaksi tersebut di Baduy Luar dan Dalam.
“Biasanya setelah panen sebagian ada yang menjadi alat baerter, ada juga yang di makan dengan keluarga,” ungkap Idong
Membuat ladang di lereng masyarakat Baduy biasanya di lakukan dengan sama-sama saling membantu, terkadang aku melihat dua atau tiga orang Baduy yang sedang membersihkan ladang. Sifat saling membantu yang dilakukan oleh Suku Baduy sangatlah erat, tidak ada saling gondok-gondokan satu sama lain, sifat seperti ini yang ada di masyarakat kota sudah hilang termakan zaman dan berganti menjadi sifat individu.
Cahaya matahari mulai menusuk kulitku, keringat bercucuran menembus sela-sela baju yang kini mulai basah. Tapi ada yang aneh lagi, batang pohon-pohon tersebut di simpan ke mana?
“Kayu-kayunya nanti, kita jual di tempat-tempat pemotongan kayu, bisa di jual satu batang pohonya Rp10.000 atau lebih,” kata Idong
“Ternyata bisa memberikan manfaat juga yah,” jawabku sambil memandang ladang yang pitak di lereng bukit.
“…” Idong menganggukan kepalannya.
Kayu-kayu yang di tebang ini menjadi tambahan di jadikan uang. Menarik juga memanfaatkan sumber daya alamnya. Yang lebih aneh lagi batang kayu-kayu di bawa dengan di panggul, sejak di perjalana i aku melihat orang Baduy membawa satu kayu sampai ke Ciboleger. Saat melihat betis-betis orang Baduy. Bujug itu betis apa beton kuat amat, celotehku dalam hati saat melihat orang Baduy membawa satu batang pohon.
Tiga jam perjalanan sampailah kita di Kampung terakhir Baduy Luar, Kampung Cepakbungur. Dua jam lagi sampai di Baduy Dalam Kampung Cibeo, sampailah kita di perbatasan Baduy Luar dan Dalam di pisahkan dengan jembatan bambu. Hendak melewati jembatan bambu rintik-rintik hujan mulai berjatuhan, semakin lama semakin banyak air hujan berjatuhan membasahi baju dan celanaku walapun sedikit karena aku tutupi dengan trashback lumayan menutupi tubuhku.
Kita sampai setengah enam sudah di homestay orang Baduy. Aku akan menikmati malam di Kampung Cibeo yang sangat sunyi ini hanya kodok, jangkrik, dan suara hewan lainnya. Tidur dengan ditutupi kain dan baju yang tadiku pakai terkena hujan, oh nikmatnya. Dingin yang masuk di roga-roga dinding homestay semakin malam udara malam mulai merasuk ke kulit bagian luarku yang membuat tubuh menjadi dingin.
Saking dinginnya pukul setengah tiga aku terbangun sejenak sebab kakiku mulai dingin sekali dan aku baru sadar cuman memakai celana pendek di baluti oleh kain berwarna biru, aku langsung menutupi dengan kainku dna melanjutkan tidur.
Pagi hari sudah banyak suara anak kecil yang ketawa-ketiwi. Aktifitas orang Baduy pada pagi hari sudah sibuk berangkat menuju ladang, ada juga sedang menyiapkan makan untuk keluarga dengan lauk sederhana mungkin hasil dari sumber daya alam yang ada, di manfaatkan sedemikian rupa. Aku pun merasakan makanan sederhana yang di olah oleh orang Baduy di homestay yang di tempati dengan ikan asin, sambal, dan sareden (untuk kedatangan tamu). Kehidupan pagi itu memberikan sebuah cerita tentang arti kesederhanaan, menikmati makan pagi sambil bercengkrama dengan Pak Sanati tentang kehidupan Baduy Dalam.
Cahaya matahari mulai muncul masuk ke sela-sela atap homestay yang aku tempati, cahaya matahari tepat menyinari piringku. Dari datang guide segera kumpul untuk pulang menuju Ciboleger, saat melihat jam ternyata pukul 08.00, aku pun bergegas membereskan pakaian yang berserakan di gantungan.
“Hayo…hayo… kita sudah di tunggu,” suruhnya
“Oke siap,”
Kita pun balik menuju Ciboleger dengan hati yang senang bertemu langsung dengan Baduy Dalam mengenal kehidupan orang Baduy Dalam, sejarah tentang Baduy Dalem. Menikmati jalan-jalan sambil memberikan pengetahuan terkadang pengetahuan ini saat traveling kita lupa hanya menikamati perjalanan tidak di selingin dengan pengetahuan. Traveling ke Baduy banyak hal yang aku dapatkan terutama kehidupan orang Baduynya dan alam yang dimanfaatkan dan di jaga dengan sebaik-baiknya. Kalau menurut Norman Edwin, Mapala UI ‘Alam sebagai Sarana Pendidikan dan Bukan Cuman Petualang’ kata-kata Bang Edwin ini yang kini aku sedang pelajari setiap perjalanan ke alam mencoba memperhatikan alam tersebut dan menjaganya dengan baik. Sama halnya memperhatikan alam Baduy yang sangat asli dan menjaga keasrianya jangan sampai hilang dan hancur.

You May Also Like

4 komentar

  1. Aduh, kd kangen Baduy. Sejak habis melahirkan Ranu, sampe skrg ngelahirin baby K, pingin ke Baduy lagi blm kesampaian aja. Klo kesana lg ajak2 y

    BalasHapus
  2. Hayu tehh, insya Allah bulan depan nih heheh

    BalasHapus
  3. Heuheuu blm pernah ke Baduy 😩😩

    BalasHapus