Keharmonisan dan Keindahan Gunung Merbabu
Tiga tahun berturut-turut semenjak Agustus tahun 2015 sampai 2017,
aku dan kawan-kawan kembali mendaki, kini bagian Gunung Merbabu yang terletak
di wilayah Kabupaten Magelang di lereng sebelah barat, Kabupaten Boyolali di
lereng sebelah timur dan selatan, Kabupaten Semarang di lereng utara, Provinsi
Jawa Tengah. Gunung di sekitaran Jawa Tengah membuatku nggak bisa move on dari
keindahan alam Jawa Tengah, gunung-gunung yang berdiri tegak di sekitaran Jawa
Tengah banyak menyimpan surga yang dirindukan pendaki. Oleh karena itu, kita
memilih Gunung Merbabu yang konon di puncak Gunung Merbabu mata kita akan
dimanjakan dengan lautan awan kita akan terhipnotis melihat awan mengelilingi
kita, rasanya ingin sekali berenang-renang di atas awan. Selain alamya,
masyarakat Jawa Tengah yang ramah dan sopan membuat kita terasa nyaman bila
singgah di desa dan dusun sekitar Jawa Tengah.
Gunung Merbabu memiliki beberapa jalur pendakian antara lain Jalur
Selo (Boyolali), jalur Tekelan (Kopeng, Salatiga), Jalur Suwanting (Magelang),
jalur Chuntel (Magelang), dari beberapa jalur kita memilih jalur Suwanting yang
di buka tahun 2015. Kita mencoba jalur Suwanting yang berada di Dusun Suwanting,
Desa Banyuroto, Kabupaten Magelang, untuk akses menuju Dusun Suwanting bisa di
bilang tidak terlalu jauh bila menggunakan bis dan kereta, jika menggunakan bis
turun di terminal Giwangan menuju basecamp Suwanting sekira 2 jam bila
menggunakan kereta pun sama turun di Stasiun Lampuyangan menuju basecamp sekira
2 jam juga. Kita mulai pendakian sekira pukul 13.00, selepas salat Jumat.
sebab, aku menunggu kawan-kawan yang sedang menuju basecamp. Kita mendaki 9
orang yakni aku, Wase, Nana, Rizky, Nasrul, Nizar, Satria, Siyfa, dan Emma,
sebelumnya ada 12 orang dikarenakan ada kendala sebagianya jadi membatalkan.
Untuk Simaksi Taman Nasional Gunung Merbabu perorang sekitar
Rp16.500, setelah pembayaraan kita mulai mendaki. Melalui jalur Suwanting kita
di sambut dengan hamparan perkebunan sayur-sayuran berbagai macam sayuran yang
ditanami di Dusun Suwanting, masyarakat dusun suwanting kebanyakan berprofesi
menjadi petani, tanah yang subur di manfaatkan oleh masyarakat Dusun Suwanting
untuk menanam berbagai sayur-sayuran hampir sayur-sayuran tumbuh di sekitaran
Dusun Suwanting. Biasanya sayuran-sayuran yang panen di kirim ke pasar sekitar
Magelang dan Jogja, ada juga yang berjualan menggunakan motor yang di belakang
joknya di lengkapi dengan tempat-tempat untuk menaru sayuran, masyarakat
Magelang menyebutnya Ayek. Lokasi berjualananya di sekitaran Magelang sampai ke
Jogja, biasa kalau masyarakat Dusun Suwanting berangkatnya sekira pukul 03.00
dan pulang pukul 15.00 sore.
Semenjak jalur Suwanting di buka pendapatan desa bertambah dari
biaya masuk pendaki Gunung Merbabu dari uang itu masyarakat Dusun Suwanting
sama-sama bergotong royong memperindah dusun seperti akses jalan, pencahayaan,
dan lain-lainnya. Gotong royong di Dusun Suwanting masih sangat erat walapun
yang tinggal di dusun tersebut masyarakatnya memiliki keyakinan berbeda-beda
antara agama islam dan kristiani hidup saling berdampingan, dengan gotong
royong menyatukan kedua keyakinan tersebut untuk membangun desa. Hasilnya,
kenyamanan bagi pengunjung maupun masyarakat yang tinggal di Dusun Suwanting
dapat dinikmati.
Selain pendapatan desa, masyarakat Dusun Suwanting juga mendapatkan
limpahan rizki menjadi ojek dan porter, jika ingin memulai dari pos 1 bisa
menggunakan ojek dari basecamp hanya membayar Rp10.00 perorang. Aku dan
kawan-kawan memulai dengan jalan kaki dari basecamp lumayan tanjakan yang
menguras tenaga. Di jalur suwanting kita akan melewati 7 lembah seperti Lembah
Lempong, Lembah Gosong, Lembah Cemoro, Lembah Ngrijan, Lembah Mitoh, Lembah
Singo, dan Lembah Manding. Jalur Suwanting bisa di bilang makmur air, sebab aku
dan kawan-kawan selama pendakian bertemu dengan sumber air dari pos II sampai
sumber air (sendang dampo awang) sebelum pos III. Jalur yang kita lalui bisa di
bilang tanjakan tak ada ampun, kita tidak diberikan bonus jalan landai walapun
di kasih itupun hanya sebentar.
Setiap jalur aku selalu menemukan pipa paralon yang berdiameter 2
inci, ternyata pipa paralon ini digunakan sebagai aliran air dari sumber air
yang dekat dengan kawah Gunung Merbabu, untuk persedian air bagi pendaki yang
kehausan dapat ditemui di pos II dan sebelum pos III. Pipa paralon ini dibuat
oleh masyarakat Dusun Suwanting yang mendapatkan biaya dari Jakarta pengerjaan
sekira 200 orang membuat pipa paralon dari sumber air sampai ke dusun tapi
sekarang pipa paralon dari dusun putus hanya sampai di pos II. Air dari
sumbernya langsung memang nikmat, kemurnianya bisa menyegarkan badan dan
membuat kita terus untuk mendaki.
Sekitar pukul 14.10 kita sampai di pos II, berhenti sejenak sekira
10 menit setelah itu kita melanjutkan perjalanan menuju pos III sekira 1-2 jam
perjalanan. Setengah perjalanan kita lalui, seketika langkahku terhenti saat
melihat pemandangan yang sangat indah sekali. Tak bisa dibayangkan aku begitu
dekat dengan awan bahkan setara, dari kejauhan kita bisa melihat pucuk-pucuk
gunung di Jawa Tengah seperti gunung kembar Sindoro, Sumbing, dan Merapi. Dari
samping aku begitu dekat dengan Gunung Merapi yang begitu indah dari pucuk
Merapi terlihat asap-asap keluar dari kawah merapi.
Saat itu aku dan kawan-kawan mendaki bersama dengan rombongan
Malaysia, berhenti sejenak di antara jalur menuju pos III.

Wanita asal Malaysia itu begitu menikmati pemandangan keindahan
Gunung Merbabu, hamparan awan yang mengelilingi Gunung bak seperti lautan awan.
Cukup lama kita menikmati sunset di sore hari sambil mengabadikan dengan kamera
gawai, di semua sisi aku foto hingga mendapatkan foto terbaik. Setelah selesai
kita pun melanjutkan perjalanan menuju pos III, matahari perlahan mulai terbenam
berganti bulan yang terang waktu itu. Pendakian malam akan kita lakukan, Rizki
dan Nizar berangkat duluan mendirikan tenda.
“Uyy, gue sama
Nizar jalan duluan buat ngediriin tenda, sekalian menyiapkan air panas, kita
tunggu di pos III,” ujar Rizky mengistruksikan kepada kawan-kawan. Kedua
kawan-kawanku pun perlahan menghilang dari kegelapan.
Aku dan kawan-kawan yang lain, berhenti sejenak mendengarkan adzan
maghrib yang berkumandang, kita pun merentangkan kaki sambil menyenderkan badan
di keril dan daypak memandang ke atas melihat bulan yang begitu indah dengan
cahayanya yang terang.
“Mudah-mudahan besok cuacanya indah yah,” tuturku kepada
kawan-kawan
“Tenang bakalan indah besok,” jawab Nana yakin.
Kumandang adzan pun berhenti
kita melanjutkan mulai melanjutkan perjalanan, dengan menggunakan dua senter
kita pun membuat formasi agar yang memakai senter di tengah dan belakang. Aku
di bagian tengah sebab headlamp yang aku pakai tak begitu terang.
“Iyoey coba sorot jalurnya kedepan,” instruksi Nana bagian depan
“Oke…oke,” akupun menyorotkan headlampku ke depan.
Jalur mulai menajak sesekali kakiku terpeleset. Tak hanya aku,
kawan-kawan pun merasakannya. Udara dingin mulai menusuk tubuhku yang hanya
terhalang baju tipis, dengan nafas tersengal-sengal disebabkan udara menipis
membuat pijakanku melambat. Cobaan kita
tidak sampai situ, tanjakan licin dan berdebu harus kita lalui. Selain itu, seutas
tali menjadi pegangan agar badanku tidak terperosot, bila terperosot
kawan-kawan yang berada di belakang akan jatuh. Selama mendaki tiga tali menjadi
penahan bebanku untuk terus memanjat.
Hari semakin gelap, cahaya bulan menyinari jalur yang aku lalui
dengan teman-temanku. Sebelum menuju pos III kita mampir di pos air, memenuhi
botol kosong. Dari pos air menuju pos III tanjakan semakin menajak bergelut
dengan tanah kering bercampur dengan pasir. Beban yang aku bawa bergantin
menjadi lebih berat, yang tadinya memakai daypak kini bergantin menggunakan
keril yang lumayan berat. Langkah kakiku lancar tidak seperti yang tadi beban
yang aku bawa, setalah berganti dengan keril langkahku semakin melambat bahkan
sampai merangkak seperti spiderman dan harus berpegangan dengan rumput-rumput
di sekitaran jalur agar tidak terbalik.
Sekira 15 menit menanjak dari kejauhan tenda sudah berjajaran di
pos III. Kita pun dengan muka yang sudah lelah mencari tenda yang didirikan oleh
Rizky dan Nizar.
“Yoey, tendanya sebelah mana?” tanya kawanku
“Pokoknya cari yang warna orange sama abu-abu hijau,” jawabku
sambil melirik sana sini mencari tenda berwarna orange.
Tenda berwarna orange pun ketemu, Rizky dan Nizar sedang mendirikan
tenda dengan badan menggil kedua kawanku terus bergegas mendirikan tenda untuk
ditempati. Perut yang tadi keroncongan kini semakin lebih berutal karena belum
masuk nasi ke dalam perut, kita pun membuka bungkus nasi dan makan bersama
walapun nasi dan lauk ketika masuk kedalam mulut bagaikan makan batu es dingin
tak berasa apapun.
“Weeh, nasinya dingin kaya batu es,” keluh kawanku
“Nikmatin ajah bro, yang penting madang,” jawabku sambil menyuap
nasi ke mulut.
Dalam kondisi nasi yang dingin, namanya lapar tidak memandang lauk
yang terpenting perut terisi. Tempo makan pun semakin berutal suap sana sini
mencari lauk yang masih tersisi di tumpukan nasi, canda dan tawa pun menghiasi
makan malam kita walapun dalam badan dalam keadaan badan mengigil. Setelah
makan kita melanjutkan mendirikan tenda satu lagi, bersama-sama diatas
bintang-bintang dan bulan yang
menampakan keindahan cahayanya.
Malam semakin gelap, angin mulai mengoyangkan tenda kita ditambah
dingin yang semakin menusuk-nusuk badan. Malam itu kita bergegas tidur selepas
makan-makan. Hasil rundingan semalam kita berangkat ke puncak pukul 5 subuh.
Semakin malam tenda-tenda yang kita tempati mulai sunyi hanya suara angin dan
dengkuran di tenda sebelah, yang semakin lama semakin keras.
Malam berganti pagi, bulan berganti matahari, seiring perputaran
bumi pada porosnya yang membuat seisi bumi berganti dikala malam makhluk di
bumi istirahat dan sebaliknya di kala siang makhluk hidup menjalankan
aktifitasnya, begitupun kita sekira pukul 05.00, aku di bangunkan oleh kawan-kawanku.
“Yoey bangun…bangun, udah pagi,” teriak kawanku di tenda sebelah
“Hoammm, iyahh,” jawabku sambil menguap membuka sleeping bad yang
aku pakai.
“Yoey, mendoan tuh,” tawar Satri kepadaku
Aku pun bangun mencari letak gorengan itu berada, “Mana-mana gorengannya,”
tanyaku sambil mencari-cari.
“Itu di depan pintu tenda,” ujar Satria
Mata dalam keadaan ngantuk, aku meraih gorengan tersebut dan
melahapnya dengan nikmat. Bener saja mendoan yang aku makan begitu nikmat,
sehingga membuatku terus-terusan nambah makan mendoan. Pagi itupun begitu
dingin sampai kaki yang dibalut kaos kaki dan sleeping bad membuat kaki
kaku, dengan sigap aku langsung mengerak-gerakannya. Setelah beres makan, Kita
mulai bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanan menuju puncak Gunung Merbabu.
Hendak keluar sekira pukul 06.10, aku melihat hamparan awan berwarna putih
mengelilingi Gunung Merbabu, matahari mulai mememunculkan aura kecantikan yang
muncul diantara dua gunung antara Sindoro dan Sumbing.
“Nikmat mana lagi yang kau dustakan, kawan!” ucap Nizar ketika
melihat sunrise di antara dua gunung.
Padahal posisi aku
belum berada di atas puncak tetapi serasa ada di puncak, sebab dari pos III ini
sudah terliahat pucuk-pucuk gunung Gunung Merapi, Sindoro, dan Sumbing,
pucuk-pucuk gunung itu terlihat seperti karang yang menjulang tinggi dan awan
lautannya. Momen yang tidak dapat kita lupakan bersama, pemandangan yang sangat
luar biasa. Kita mulai meninggalkan tenda, dari pos III menuju puncak sekira 20
menit.
Aku tak sabar ingin melihat sabana di Jalur Suwanting, di jalur ini
memiliki III sabana. Di dalam tulisan blog yang pernah mendaki melalui jalur
Suwanting katanya indah banget. Bila dilihat foto yang di blog sekilas memang
mengiurkan. Kini aku akan melihat langsung dengan mata kepalaku, apakah benar
seindah yang dikatakan di blog! Aku pun terus mendaki walapun nafasku kembali
tersengal-sengal padahal beban yang aku bawa hanya daypak yang berisikan air
minum.
Sekira 15 menit, Sabana mulai terlihat kita sampai di Sabana I,
mataku memandang ke arah puncak hamparan padang rumput hijau kekuningan bergoyang-goyang
terhempas oleh angin yang begitu deras. Batinku berkata inikah keindahan yang tersembunyi dari alam,
sesuatu yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata, ketika melihat pemandangan
Sabana aku yang tadinya lelah kembali segera melihat Sabana selanjutnya.
Kita pun melanjutkan pendakian menuju puncak. Hamparan pandang
rumput semakin cantik ketika matahari mulai menyinari Gunung Merbabu. Aku dan
kawan-kawanku terus disuguhkan dengan pemandang-pemandangan yang begitu cantik
dari Jalur Suwanting. Lima belas menit kemudian, kita sampai di Sabana III, di
sini pemandangan Sabananya sangat-sangat indah sekali. Sabana III kita dapat melihat
dua jalur pendakian antara Jalur Wekas dan Selo.
Aku sejenak istirahat untuk memandangi Saban III, sambil bersila
menghadap ke Timur. Dengan keadaan badan yang mengigil aku terus menyoroti
keindahan padang rumput yang begitu indah, pandangan pertama pada Sabana III
membuatku jatuh hati dengan Gunung Merbabu. Keindahannya bisa membawa terus
memipikan hamparan rumput yang begitu indah.
“Yukk, iyoey lanjut,” ujar Nizar mengajakku melanjutkan pendakian.
“…” aku menganggukan kepala.
Perlahan aku meninggalkan Sabana III untuk melanjutkan sampai ke
puncak Merbabu. Pemandangan indah ini aku abadikan dengan foto. Matahari
semakin meninggi meniyinari alam di bumi. Kini badanku tak lagi mengigil karena
disinari matahari. Kawanku Rizki sudah tidak telihat dari kejauhan ia
melambaikan tangannya ke arah kita.
“Mana si Rizky? Kaga keliatan,” tanya Nizar kepada kawan-kawan
“Noh, liat si Rizky lambaikan tangan,” sambil menunjuk tangan kea
rah Rizky
“Heeh, si Rizky udah jauh banget,” kaget nana sambil melihat Rizky
Melanjutkan kembali pendakian. Dari Sabana III tidak terlalu jauh
menuju puncak. Gunung Merbabu memiliki tiga puncak Kenteng Songo, Puncak
Trigulasi, dan Puncak Kenteng Songo. Akhirnya kita sampai di puncak Kenteng
Songo karena sudah tak tahan menahan lelah, setelah menaiki pundak Gunung
Merbabu tapi kelelahan itu kini terbayar dengan melihat pemandangan alam dari
puncak Gunung Merbabu.
“Gileee, indah banget bro,” teriakku bahagia.
Akupun mengabadikan moment ini, bagiku melihat suasan indah di
puncak gunung menjadi bagian penting untuk diabadikan. Suatu saat nanti bila
kangen dengan Gunung Merbabu tinggal memandangi foto. Bahagiaku tak terbendung
ketika mendaki bersama kawan-kawan tanpa mereka pendakian serasa hambar tanpa
ada manis, asin, dan pahit. Karena merekalah aku menjadi kuat untuk terus
mendaki ke puncak gunung Merbabu.
Dari pendakian Gunung Merbabu kita banyak belajar arti sebuah
perjalanan yang panjang ini, hingga sampai titik puncak. Bukan hal mudah untuk
bisa sampai ke titik puncak. Rintangan, persahabatan, kebahagian, dan
keindahan, ada dalam sebuah perjalan mendaki gunung. Bagiku gunung menjadi
tempat berkaca kita dalam menjalankan kehidupan, untuk sampai ke puncak aku tak
bisa berjalan sendiri bila berjalan bersama kawan-kawan, aku merasa kuat dan
semangat sampai titik akhir.
3 komentar
Wiiih, ditunggu lagi lah tulisan lainnya
BalasHapusWedeh tumben Rere ngomen wkwk
HapusWedeh tumben Rere ngomen wkwk
Hapus