Jalak Gading #1
pixabay
Gemintang duduk di kursi kayu yang di beli
ayahnya di tokoh kursi dekat rumah bulan lalu, sambil bersadar di bangku perlahan Gemintang menyeruput kopi hitam buatanya.
Langit pagi bersinar cerah,
setelah malam hujan lebat menguyur kampunya. Suasan tenang di rumahnya suara berisik
orangtuanya tak lagi terdengara dikala pagi, sudah pergi ke kantor
masing-masing.
Burung-burung Gerja hinggap di loteng rumah Gemintang, meloncat dari loteng rumahnya ke halaman depan rumahnya. Saat Gemintang
hendak masuk ke dalam rumah, kejauhan tak sengaja melihat Kilau sahabat dekat melewati rumahnya.
“Kil, sinilah
mampir,” sahut Gemintang keras.
“Oit, siap.” teriak Kilau.
Kilau masuk ke
dalam pelataran rumah Gemintang. Membuka sepatunya satu persatu. “Dari mana,
tumben lari-larian lu?” tanya Gemintang perlahan mengeser kursi kayu. “Biasalah
olahraga, lari pagi,” jawab Kilau engos-engosan. Pagi yang sibuk, lalu-lalang orang terus bergelitiran melewati rumahnya.
“Emang kaya lu, pagi-pagi bukannya olahraga tapi duduk bae,”sindir
Kilua halus
Heheh! Gemintang
senyum. Maklum gaya gravitasi kasur lebih berat bagi
Gemintang . Setelah semalam suntuk mengerjakan skripsi
yang tak kunjung usai. Yang membuat ocehan orangtuanya selalu berdengung di
telinganya kalimat ‘Kapan lulus’.
Gemintang
masuk ke dalam rumah membuatkan kopi hitam untuk
disungguhkan kepada Kilua.
“Wihh, mantaf.”
Puji Kilau sambil menghampir kursi di sebalah Gemintang, menengok kanan kiri
melihat seisi rumah seperti orang ke bingungan. “Orang tua lu, udah pada
pergi,” tanya Kilua sambil meluruskan kedua kakinya. “Iyah, tadi pagi.” Jawab Gemintang
sambil menyuruput kopi hitam. Mereka pun berbincang dari yang berfaedah sampai unfaedah.
Saat
keduanya kehabisan obrolan. Kilau terlintas menanyakan liburan kepada
Gemintang, soalnya Minggu depan libur panjang.
“Liburan Minggu
besok mau travelling kemana?”
“Biasa menyusuri
pulau,”
“Kaga bosen apa?”
“Di nikmatilah.”
“Mendingan ikut
gue mendaki ke Jawa, mau nggak?” Kilau tiba-tiba melontarkan pertanyaan yang
membuat mood nya terganggu. “Di bilang, berulang kali gue nggak mau naik gunung,” Gemintang
mengerutkan dahinya. Kilau orang yang ke sepuluh kali menawarkan Gemintang
untuk mendaki gunung. Wajah Gemintang berubah murung, tatapannya menyimpan
suatu kesedihan cerita lampau. Seseorang yang
ia sayangin harus merenggut nyawa di atas ketinggian.
“Sudahlah,
pertanyaan lu membuat ingatan gue kembali,” kepala Gemintang menengadah ke
langit pagi ini.
“Gue tahu, tapi
kalau lu terus menyimpan trauma itu mana bisa lepas,” Kilau mencoba
menyadarkannya.
Gemintang diem tak
menjawab. Tanganya mengepal kencang, wajahnya mengadahkan ke langit-langit. “Oke,
gue tunggu jawaban lu secepatanya!” Kilau bangkit dari kursi memakai sepatu
yang berada di perlataran rumah. Kalau lu seorang petualangan buktikan, gue
tunggu di terminal! Tantang Kilau membelakangi Gemintang. Jiwanya semakin
membara saat Kilau di tangtang oleh Kilau.
“Terimakasih jamuan pagi ini, walapun kopinya serada pahit.” Kata
Kilau meninggalkan rumah Gemintang.
***
Kilau menteng tas keril kebangganya berwarna merah dengan warna
hitam di bagian kantong depan dan di bagian shoulder harness nya juga. Ia duduk
di trotoar memandang lalu lalang bis antar daerah di terminal pagi buta.
Menunggu sahabatnya
yang tak kunjung datang. Asap putih keluar dari mulutnya, menikmati setiap
isapan roko di tangan kanannya. Kalau kau, berani datanglah! Gumamnya dalam
hati.
Dari belakang terdengar suara Gemintang.
“Hayo, berangkat bis udah mau berangkat, tuh,” ucap Gemintang
berdiri di belakang Kilau
Kilau mengisap rokonya, lalu menghebuskannya ke langit-langit.
“Akhirnya datang juga,” Kilau senyum. Rokok ditangannya buang ke tanah, digilas
oleh kakinya. Ia bergegas mengendong tas kerilnya berwarna merah. “Gitu dund,
buktikan.” Kilau menepuk-nepuk bahu Gemintang.
Mereka pun lari bergegas masuk ke bis tujuan Solo. “Sebenarnya kita
mau ke gunung mana, bro?” tanya Gemintang melepas tas kerilnya taru di bawah
tempat duduk. “Nanti juga, lu tahu.”
Kilau senyum lepas. Sial, dia selalu begitu! Kesel Gemintang.
Maafkan, Mah, kali
ini saja Gemintang berbohong! Keluhnya dalam hati sambil menyederkan kepalanya
di kaca mobil. Meratapi kata-kata yang sudah Gemintang lakukan tadi pagi
terhadap ibunya, sebab selama ini Gemintang tak pernah berbohong kepada ibunya.
Ia takut terjadi apa-apa dengan ibunya akibat kebohongannya. Kepergiannya ini
bukannya senang tetapi kesedihan dalam dirinya yang terus menghantui
Kilau menepuk bahu
Gemintang
“Kenapa lu? Pasti
pagi ini lu sudah membohongi orang tua,” ucap Kilau dengan sok tahu.
“Ngg…gak, gue
cuman rada-rada nggak enak naik bis,”ujar Gemintang terbatah-batah.
“Cukup, ibu mu
yang lu bohongi, berbohong sekali maka lu akan berbohong terus-menerus,”
Sial, memang sial,
kali ini gue harus menyerah!Keselnya kepada Kilau.
“Oke, mengakui,
ini kesalahan besar bagi gue,”
Kilau tertawa
terbahak-bahak, “Sudahlah, banyak orang yang gue temui selalu berkata begitu.”
Katanya. Lanjutnya menepuk bahu Gemintang sambil berbisik pelan, “Jadi sekarang
nikamti perjalanan ini.” Tanpa menjawab Gemintang hanya menganggukan kepalanya.
Memang sulit
berbohong dengannya, jam terbang yang membuat Kilau memahami karakter orang.
Orangnya memang selengean tetapi solidaritas tinggi yang selalu di tunjukan.
Dia banyak belajar dari sebuah pejalanannya selama ini.
Hmmm! Gumamnya
dalam hati.
***
Embun pagi, menerabas
dalam tenda mereka.
Kedua kaki Gemintang
menginggil, dua lapis kaos
kaki dan sarung tangan tidak
cukup menghangatkan jari-jari kaki dan jari
tangan. Jarum jam
menunjukan angka tiga pagi. Gemintang baru kali ini merasakan dingin yang
sangat menusuk sampai ke tulang. Seperti inikah, hoby teteh saya, semasa
hidupnya! Gumamnya dalam hati.
“Beginilah,
dinginnya gunung, beda dengan pantai.” Ledek Kilau pelan masih berselimut sleeping
bad
Shitt! Kesalnya sambil menutupi wajah dengan sleeping bad.
“Emang sekarang berada di ketinggian berapa?” tanya
Gemintang dengan mulut mengigil.
“Yah, Sekitar tiga ribu di atas permukaan
laut.” Ucapnya dengan santai
Gemintang masih
penasaran ingin mencari tahu, yang membuat tetehnya suka dengan mendaki gunung.
Dari kemarin dia belum menemukan hal yang indah ataupun yang unik saat mendaki
Gunung Lawu. Menurut ia, perjalanan ini sangat menyusahkan tak seperti menyusuri pulau.
“Oke, kemasi
barang-barang lu, kita berangkat, bawa barang seperlunya saja.” saran Kilau
sambil membereskan sleeping bad nya.
“Gilee, jam segini
mau jalan lagi, masih pagi, coyy,” sahut Gemintang kaget.
Kilau tersenyum
sinis. Ia menghiraukan gerutuhan Gemintang yang terus nyerocos. Ia masih sabar
meladeni teman yang satu ini, andai saja sabar itu hilang akan meninggalkannya
di dalam tenda. Gemintang pun nurut apa yang dikatakan oleh Kilau, ia
membereskan sleeping bad dan meminum segelas teh panas yang di buat
Kilau sedari tadi.
“Hayo, kita
berangkat. Habis ini, trauma yang lu rasain bakal hilang.” Ucap Kilau yakin.
Mereka pun
meninggalkan tenda, tas daypak satu di bawa. Lampu headlamp ia pasang di kepala, cahaya lampu dari kepalanya
memecah kegelepan. Badan Gemintang gemeter hebat, badanya tak
terbiasa dengan dinginya gunung. Sedangkan Kilau, sudah terbiasa dengan
dinginnya gunung terus fokus menyusuri jalan
menuju puncak. Gemintang terus bertahan, mau bagaimana
pun harus bertahan kalau tidak begitu lemah sekali tubuh ini.
“Bertahan,
adaptasilah sama cuacanya.” Saran Kilau sambil meraba jalan.
Setengah jam perjalanan
menuju puncak. Mereka hanya bisa terdiam menahan dinginya pagi itu. Angin terus
mengoyahkan tubuhny. Sebagian tubuh Gemintang mulai terasa mati rasa dibagian
daun telinga begitupun jari-jarinya.
Gemintang terus
menyeka kedua tangannya untuk meredakan dinginya pagi sambil berjalan menajak
pelan. Inikah, alam gunung yang katanya indah, gerutu Gemintang dalam hati.
Seiring pendakian langit-langit pagi gelap mulai pudar, berubah berganti cahaya
mentari memudarkan kegelapan. Hijau daun pohon Edlewis terlihat di pinggir
jalur pendakian. Sayangya waktu itu, bunga yang disimbolkan sebagai bunga
keabadian ini belum bermekaran.
“Berapa jam lagi
sampai puncak?” tanya Gemintang mulai engos-engosan
“Tenang, sebentar
lagi,”
Tiang
menjulang ke langit terlihat dari kejauhan, diujungnya bendera merah putih
berkibar dengan gagah.
“Lihat diujung
sana, tiang menjulang itu, Gim,” Kilau menujukan jarinya ke arah tiang
tersebut. Gemintang di belakang Kilau “Serius, kita sebentar lagi sampai ke
puncak.” Badan Gim, yang tadinya dingin seketika mereda oleh sinar mentari lama
kelaman mulai bersinar.
Sebuah tatapan
pertama yang Gemintang rasakan saat di puncak gunung, hanya tersenyum lepas
memandang hamparan awan yang begitu luas, bak seperti lautan yang ia pernah
lihat di pulau-pulau. Inikah, yang membuat teteh suka dengan gunung! Gumam
Gemintang menatap matahari sedikti demi sedikit naik.
“Apakah ada
jawaban dari semua perjalanan ini?” kata Kilau serius mentap ke arah matahari
terbit.
“Yah, gua
menemukannya sebuah pelajaran yang sangat berharga dari pendakian ini. Dan
sekarang, gue paham hoby yang teteh gue lakukan bukan hanya pendakian banyak
makna yang tersimpan dari pendakian ini,” ungkap Gemintang sambil menepuk bahu
Kilau.
Continue ......
0 komentar