Gelap
berganti, matahari pagi keluar dari sarangnya, sinarnya menerobos daun-daun
yang rindang. Aku membuka pintu tenda. Pandanganku mengarah ke tenda kelompok
lain, sudah tidak terdengar lagi suaranya. Kata Hasby yang terlihat lelah habis
membasmi babi hutan, kalau kelompok lain sudah berangkat dulu. Wandi, ipul, Budi, dan Hasby sedang
mempersiapkan makanan ringan untuk mengisi sedikit perut. Tiga naget satu roti
cepat-cepat aku lahap, karena tidak sabar untuk segera menuju puncak. Hasby,
Zahra, Dila, dan Riki, menyusul. Sebagiannya seperti aku dan ketiga temanku
berangkat terlebih dahulu.
Dari Pos
Kandang Badak sampai puncak sekitar 3 jam perjalanan. Saat mulai mendaki, aku melintasi
dua jalur; satu. jalur menuju puncak gede, kedua. Menuju alun-alun mandalawangi.
Melihat dan membaca tulisan alun-alun Mandalawangi arah ke kanan, teringat
cerita novel Balada Si Roy yang juga tokoh suka dengan mendaki. Kami mengambil
arah menuju puncak Gede, jalurnya berupa akar-akar pohon alami berbentuk akar
dan terus menanjak. Walapun tidak membawa beban tetapi cukup engap
terus-terusan menanjak.
Selama
perjalanan pohon sekitar jalur begitu rapat, sinar matahari hanya sedikit
cahaya yang menerobos dedaunan. Jalur terus menanjak setiap sepuluh menit
berjalan kami beristirahat, kebetulan satu perempuan ikut dengan kami. Setelah
perjalanan dua jam lebih, kami bertemu dengan Kawah Ratu dan Kawah Wandon. Kami
pun bersewafoto dengan latar belakang dua kawah cantik, indah sekali saat
kepulan asap putih keluar dari tumpukan bebatuan berwana kekuningan.
Karena
perjalanan puncak masih lumanyan, kami tidak berlama-lama. Langsung melanjutkan
perjalanan menuju puncak. Hempasan angin yang sangat kencang cukup mengoyangkan
tubuhku. Sinar mentari semakin meninggi, tentu semakin panas. Jalur yang aku
lalui bukan lagi tanah dan akar tetapi berupa babatuan dari Gunung Gede
Pangrango, sekitar jalur ada tali baja berfungsi sebagai pegangan yang
melintang dari awal warung kecil sampai puncak. Di sebalah kanan, aku melihat
sebuah lapangan luas berwana kekuningan. Setelah bertanya dengan teman, itu Alun-alun
Surya Kencana. Dan bila melihat kebelakang puncak Pangrango terlihat jelas.
Woow, indah sekali.
Sampailah kami
di puncak Gunung Gede. Di puncak banyak sekali manusia yang berkumpul, bersukaria
melihat pemandangan alam yang indah. Hamparan bukit-bukit dari atas puncak, indahnya
bener-bener indah. Aku semakin kagum atas karunia-Nya. Di hadapanku puncak
Pangranggo, aku merasa setara dengan puncak Pangranggo. Gunung Pangranggo dan
Gede, konon menurut cerita yang aku baca di sebuah website. Dahulunya dua
gunung ini satu, entah ada pergeseran tanah yang membuat terbentur dan akhirnya
terpisah.
Usai menikmati
puncak gede, aku dan dua orang temanku melanjutkan ke Alun-alun Surya Kencana.
Menuruni lereng puncak gunung yang ditutupi pepohonan yang rapat. Saat itu,
jalur turun menuju alun-alun begitu ramai banyak orang yang dari bawah menuju
atas. Jalur yang kita lalui, sedikit terhambat. Dari puncak menuju alun-alun
sekitar 15 menit perjalanan. Lumayan, karena trek kita menurun sedikit cepat. Aku
menyalip pendaki yang berjalan agak lambat, begitu padet waktu itu.
Yeahhh!
Akhrinya sampai di alun-alun, hamparan luas rumput berwarna kekuningan begitu
indah. Angin begitu sejuk dengan mentari yang semakin meninggi. Di alun-alun
banyak para pendaki yang bermalam di sini. Untung saja, aku kesini. Bunga-bunga
Edelwis masih bermekaran walapun sedikit layu. Hati begitu senang keinginan
meilhat alun-alun yang katanya indah, dan terbukti langsung melihat dan
merasakan. Kami pun istirahat sejenak di tengah-tengah alun-alun. Sambil
mengabadikan dengan kamera hp.
Ketika
istirahat di alun-alun surya kencana, pandanganku ke arah sebuah tempat mirip
seperti bunker. Seperti yang aku baca sebuah situs seputar Gunung Gede katanya,
yang dimana di sana terdapat sebuah bunker tempat dahulu zaman belanda pos
untuk mengamati gunung merapi. Sekarang menjadi tempat singgah pendaki karena
tempatnya begitu strategis, juga banyak mata air di sekitaran bunker tersebut.
Setengah jam
berlalu, kita berangkat lagi menuju tenda. Kabut mulai menyerang alun-alun
menutupi seluruh alun-alun disertai angin yang cukup kencang. Semakin lama
melangkah, perutku semakin melilit daya tanjak semakin melemah, karena tadi
hanya meminum segelas ekstra joss. Kami lupa membawa makanan untuk persedian di
jalan. Aku memaksa untuk terus berjalan sampai ke tenda. Lemas, yah! Itu yang aku
rasakan waktu itu, benar-benar lemas. Keadaan perut kosong, seperti tak punya
tenaga sering berhenti karena benar-benar lemas. Haa
Dua jam
perjalan dari alun-alun menuju tenda, akhirnya kami sampai di tempat
persinggahan di Kandang Badak. Karena kelaparan, aku langsung memasak mie,
goreng sosi, dan lain-lain. Hingga perutku terpuaskan. Setelah perut terisi
sejenak istirahat hingga waktu menujukan angka 4 sore. Kami bergegas
membereskan tenda dan peralatan pribadi. Saat membereskan tenda Hasby mulai
firasat tidak enak, ketika melihat ke kelompok lain ada satu laki yang
sepertinya kerasukan makhluk halus tapi untungnya tidak begitu lama, dia
langsung sadar. Mungkin karena efek kelelahan yang membuat dia berhalusinasi.
Kelompok
sebelah sudah berangkat terlebih dahulu, sedangkan kami masih sibuk berberes.
Maklumlah kelompok kami banyak anak muda, masih berleha-leha dengan waktu.
Karena kelompok sebelah sudah memberikan
teguran kepada kami untuk bergegas berangkat, sebab sepakat turun tidak terlalu
malam. Zahra dan Dila tampaknya agak berbeda dari biasanya setelah mendengar
ada pendaki dari rombongan kami kerasukan. Zahra yang tiba-tiba melantukan ayat
kursi bersama Dila. Setelah siap semua, kami berangkat meninggalkan pos Kandang
Badak. Aku menghendel tas Zahra, karena kaki sebalah kanannya tergopoh sakit
bekas tadi turun dari puncak. Akhirnya tas dari Zahra aku pakai di bagian
depan.
Suasana
semakin gelap saat itu waktu menunjukan angka enam, kami mulai menyalahkan
senter masing-masing. Jalur menurun, posisi mulai diatur. Aku dibagian akhir
kedua. Posisi perempuan taruh di bagian tengah. Baru beberapa menit berjalan,
kondisi Zahra semakin down ia tersungkur ke pinggir jalur. Kami pun
panik melihat peristiwa tersbut. Hasby sebagai saudarannya terus menyemangati
Zahra sambil menahan badannya. Bukannya membaik kondisinya semakin memburuk,
tiba-tiba Zahra pingsan lalu bangun dan meraung seperti kerasukan sesuatu.
Setelah di telaah ternyata Zahra kerasukan. Ipul, Hasby, dan Pungki dengan sigap
membantu membopong Zahra berjalan sambil kita melantunkan ayat al-quran dalam
hati. Empat orang itu kami biarkan berjalan duluan, tinggal aku, Budi, Wandi,
Dila, dan Ricky, menyusul dari belakang.
Hari semakin
gelap hanya ada lampu senter yang membelah kegelapan jalur pendakian, Hasby dan
dua orang kawannya jalan duluan sambil membopong Zahra. Aku, Wandi, Ricky,
Dila, dan Budi, jalan pelan-pelan sambil membaca ayat kursi dalam hati. Saat
kejadian tadi kami berempat mencoba menenangkan Dila agar tidak ikutan panik, terus
berjalanan hingga ke basecamp itu yang kami pikirkan saat itu. Sepanjang
perjalan Dila terus bertanya kejadian tadi, kami mencoba menahan untuk tidak
berbicara soal kejadian tadi. Suara keras dari kejauhan terdengar sampai ke kupingku.
Dila yang penasaran langsung menanyakan ke kita.
“Aa, itu suara
A Hasby kan?” tanya Dila penasaran.
“Iyah, biarin
aja.” Jawab Budi enteng. Lanjut Dila, penasaran. “Ko, teriak teriak, sih?”
Kami coba menjawab pertanyaan
Dila untuk tidak mengarah kejadian tadi.
Hampir tiga
jam perjalanan, kami sampai di air tejun dan bertemu dengan Hasby, Ipul,
Pungki, dan Zahra. Mereka sedang mencoba menyadarakan Zahra, saat itu
kondisinya antara sadar dan tidak sadar. Saat kedatang kita tiba-tiba Zahra
kumat melihat Dila menghampirinya, Dila pun dengan takutnya langsung menjauh dari
Zahra.
Suara air
terjun panas malam ini agak deras, terdengar begitu cepat air jatuh ke bawah.
Untungnya uap dari air panas tidak terlalu tebal, sebab kalau tebal jarak
pandang mata cukup mengerikan. Jika, salah berpijak bisa-bisa jatuh ke jurang.
Hasby, Ipul, Pungki, bersama Zahra berangkat duluan, merasa Zahra mulai agak
sadar untuk diajak jalan. Baru gilirian kami. Saat aku mulai melangkah,
percikan air panas itu menyentuh kaki. Panasnya sungguh sangat mengganggu, harus
menahan sampai diujung penyebarangan.
Kondisi badan
mulai kelalahan, aku juga mulai kelelahan meraskan bahu yang lumayan perih
mengendong dua keril depan dan belakang. Perjalanan masih panjang, gelapnya
hutan benar gelap. Waktu itu, kami banyak melewati tenda para pendaki yang
singgah di setiap pos yang menyediakan tempat untuk mendirikan tenda. Suara
hewan malam semakin keras memecah kesunyian malam, kami berempat tidak banyak
bicara hanya terus berjalan dan berjalan hingga sampai ke bascampe.
Malam itu, aku
hanya bisa terdiam dan terus melantunkan ayat al-Qur’an di dalam hati. Sambil menikmati
suasana malam di tengah hutan yang gelap gulita. Aku sempat mendengar alasan
makhluk gaib itu merasuki tubuh Zahra. Kata Hasby, gara-gara mereka (Zahra
dan Dila) berbicara yang tidak sopan dan membuang sampah bukan di tempatnya.
Hingga membuat si pemilik kawasan itu sedikit menegor lewat Zahra.
Walah, kami
dan khususnya aku harus berintropeksi bahwa tidak hanya manusia aja yang bertamu
ke tempat yang belum didatangi atau memasuki daerah orang harus bersikap sopan
kalau tidak malah menjadi sebuah cibiran bagi masyarakat tersebut. Dan hal itu,
ternyata sama halnya memasuki kawasan hutan, tentu sopan santun cukup
diperhatikan agar penghuni hutan itu sungkan . Ambil hikmahnya.
Lima jam
berjalanan akhirnya kami sampai di basecamp. Waktu sudah menujukan angka satu
pagi, pendakian kali ini mungkin yang paling lama dan pertama kalinya pendakian
lama. Ini menjadi pengalam yang paling berharga, dimana kita harus memiliki
sopan santu bertemu atau bertamu ke tempat yang pertama kali dikunjungi.