Mistis dan Keindahan Gunung Pangranggo #2


Gelap berganti, matahari pagi keluar dari sarangnya, sinarnya menerobos daun-daun yang rindang. Aku membuka pintu tenda. Pandanganku mengarah ke tenda kelompok lain, sudah tidak terdengar lagi suaranya. Kata Hasby yang terlihat lelah habis membasmi babi hutan, kalau kelompok lain sudah berangkat dulu.  Wandi, ipul, Budi, dan Hasby sedang mempersiapkan makanan ringan untuk mengisi sedikit perut. Tiga naget satu roti cepat-cepat aku lahap, karena tidak sabar untuk segera menuju puncak. Hasby, Zahra, Dila, dan Riki, menyusul. Sebagiannya seperti aku dan ketiga temanku berangkat terlebih dahulu.
Dari Pos Kandang Badak sampai puncak sekitar 3 jam perjalanan. Saat mulai mendaki, aku melintasi dua jalur; satu. jalur menuju puncak gede, kedua. Menuju alun-alun mandalawangi. Melihat dan membaca tulisan alun-alun Mandalawangi arah ke kanan, teringat cerita novel Balada Si Roy yang juga tokoh suka dengan mendaki. Kami mengambil arah menuju puncak Gede, jalurnya berupa akar-akar pohon alami berbentuk akar dan terus menanjak. Walapun tidak membawa beban tetapi cukup engap terus-terusan menanjak. 


 Selama perjalanan pohon sekitar jalur begitu rapat, sinar matahari hanya sedikit cahaya yang menerobos dedaunan. Jalur terus menanjak setiap sepuluh menit berjalan kami beristirahat, kebetulan satu perempuan ikut dengan kami. Setelah perjalanan dua jam lebih, kami bertemu dengan Kawah Ratu dan Kawah Wandon. Kami pun bersewafoto dengan latar belakang dua kawah cantik, indah sekali saat kepulan asap putih keluar dari tumpukan bebatuan berwana kekuningan.
Karena perjalanan puncak masih lumanyan, kami tidak berlama-lama. Langsung melanjutkan perjalanan menuju puncak. Hempasan angin yang sangat kencang cukup mengoyangkan tubuhku. Sinar mentari semakin meninggi, tentu semakin panas. Jalur yang aku lalui bukan lagi tanah dan akar tetapi berupa babatuan dari Gunung Gede Pangrango, sekitar jalur ada tali baja berfungsi sebagai pegangan yang melintang dari awal warung kecil sampai puncak. Di sebalah kanan, aku melihat sebuah lapangan luas berwana kekuningan. Setelah bertanya dengan teman, itu Alun-alun Surya Kencana. Dan bila melihat kebelakang puncak Pangrango terlihat jelas. Woow, indah sekali. 

 Sampailah kami di puncak Gunung Gede. Di puncak banyak sekali manusia yang berkumpul, bersukaria melihat pemandangan alam yang indah. Hamparan bukit-bukit dari atas puncak, indahnya bener-bener indah. Aku semakin kagum atas karunia-Nya. Di hadapanku puncak Pangranggo, aku merasa setara dengan puncak Pangranggo. Gunung Pangranggo dan Gede, konon menurut cerita yang aku baca di sebuah website. Dahulunya dua gunung ini satu, entah ada pergeseran tanah yang membuat terbentur dan akhirnya terpisah. 
Usai menikmati puncak gede, aku dan dua orang temanku melanjutkan ke Alun-alun Surya Kencana. Menuruni lereng puncak gunung yang ditutupi pepohonan yang rapat. Saat itu, jalur turun menuju alun-alun begitu ramai banyak orang yang dari bawah menuju atas. Jalur yang kita lalui, sedikit terhambat. Dari puncak menuju alun-alun sekitar 15 menit perjalanan. Lumayan, karena trek kita menurun sedikit cepat. Aku menyalip pendaki yang berjalan agak lambat, begitu padet waktu itu. 

 Yeahhh! Akhrinya sampai di alun-alun, hamparan luas rumput berwarna kekuningan begitu indah. Angin begitu sejuk dengan mentari yang semakin meninggi. Di alun-alun banyak para pendaki yang bermalam di sini. Untung saja, aku kesini. Bunga-bunga Edelwis masih bermekaran walapun sedikit layu. Hati begitu senang keinginan meilhat alun-alun yang katanya indah, dan terbukti langsung melihat dan merasakan. Kami pun istirahat sejenak di tengah-tengah alun-alun. Sambil mengabadikan dengan kamera hp.
Ketika istirahat di alun-alun surya kencana, pandanganku ke arah sebuah tempat mirip seperti bunker. Seperti yang aku baca sebuah situs seputar Gunung Gede katanya, yang dimana di sana terdapat sebuah bunker tempat dahulu zaman belanda pos untuk mengamati gunung merapi. Sekarang menjadi tempat singgah pendaki karena tempatnya begitu strategis, juga banyak mata air di sekitaran bunker tersebut.
Setengah jam berlalu, kita berangkat lagi menuju tenda. Kabut mulai menyerang alun-alun menutupi seluruh alun-alun disertai angin yang cukup kencang. Semakin lama melangkah, perutku semakin melilit daya tanjak semakin melemah, karena tadi hanya meminum segelas ekstra joss. Kami lupa membawa makanan untuk persedian di jalan. Aku memaksa untuk terus berjalan sampai ke tenda. Lemas, yah! Itu yang aku rasakan waktu itu, benar-benar lemas. Keadaan perut kosong, seperti tak punya tenaga sering berhenti karena benar-benar lemas. Haa
Dua jam perjalan dari alun-alun menuju tenda, akhirnya kami sampai di tempat persinggahan di Kandang Badak. Karena kelaparan, aku langsung memasak mie, goreng sosi, dan lain-lain. Hingga perutku terpuaskan. Setelah perut terisi sejenak istirahat hingga waktu menujukan angka 4 sore. Kami bergegas membereskan tenda dan peralatan pribadi. Saat membereskan tenda Hasby mulai firasat tidak enak, ketika melihat ke kelompok lain ada satu laki yang sepertinya kerasukan makhluk halus tapi untungnya tidak begitu lama, dia langsung sadar. Mungkin karena efek kelelahan yang membuat dia berhalusinasi.
Kelompok sebelah sudah berangkat terlebih dahulu, sedangkan kami masih sibuk berberes. Maklumlah kelompok kami banyak anak muda, masih berleha-leha dengan waktu. Karena kelompok sebelah  sudah memberikan teguran kepada kami untuk bergegas berangkat, sebab sepakat turun tidak terlalu malam. Zahra dan Dila tampaknya agak berbeda dari biasanya setelah mendengar ada pendaki dari rombongan kami kerasukan. Zahra yang tiba-tiba melantukan ayat kursi bersama Dila. Setelah siap semua, kami berangkat meninggalkan pos Kandang Badak. Aku menghendel tas Zahra, karena kaki sebalah kanannya tergopoh sakit bekas tadi turun dari puncak. Akhirnya tas dari Zahra aku pakai di bagian depan.
Suasana semakin gelap saat itu waktu menunjukan angka enam, kami mulai menyalahkan senter masing-masing. Jalur menurun, posisi mulai diatur. Aku dibagian akhir kedua. Posisi perempuan taruh di bagian tengah. Baru beberapa menit berjalan, kondisi Zahra semakin down ia tersungkur ke pinggir jalur. Kami pun panik melihat peristiwa tersbut. Hasby sebagai saudarannya terus menyemangati Zahra sambil menahan badannya. Bukannya membaik kondisinya semakin memburuk, tiba-tiba Zahra pingsan lalu bangun dan meraung seperti kerasukan sesuatu. Setelah di telaah ternyata Zahra kerasukan. Ipul, Hasby, dan Pungki dengan sigap membantu membopong Zahra berjalan sambil kita melantunkan ayat al-quran dalam hati. Empat orang itu kami biarkan berjalan duluan, tinggal aku, Budi, Wandi, Dila, dan Ricky, menyusul dari belakang.
Hari semakin gelap hanya ada lampu senter yang membelah kegelapan jalur pendakian, Hasby dan dua orang kawannya jalan duluan sambil membopong Zahra. Aku, Wandi, Ricky, Dila, dan Budi, jalan pelan-pelan sambil membaca ayat kursi dalam hati. Saat kejadian tadi kami berempat mencoba menenangkan Dila agar tidak ikutan panik, terus berjalanan hingga ke basecamp itu yang kami pikirkan saat itu. Sepanjang perjalan Dila terus bertanya kejadian tadi, kami mencoba menahan untuk tidak berbicara soal kejadian tadi. Suara keras dari kejauhan terdengar sampai ke kupingku. Dila yang penasaran langsung menanyakan ke kita.
“Aa, itu suara A Hasby kan?” tanya Dila penasaran.
“Iyah, biarin aja.” Jawab Budi enteng. Lanjut Dila, penasaran. “Ko, teriak teriak, sih?”
Kami coba menjawab pertanyaan Dila untuk tidak mengarah kejadian tadi.
Hampir tiga jam perjalanan, kami sampai di air tejun dan bertemu dengan Hasby, Ipul, Pungki, dan Zahra. Mereka sedang mencoba menyadarakan Zahra, saat itu kondisinya antara sadar dan tidak sadar. Saat kedatang kita tiba-tiba Zahra kumat melihat Dila menghampirinya, Dila pun dengan takutnya langsung menjauh dari Zahra.
Suara air terjun panas malam ini agak deras, terdengar begitu cepat air jatuh ke bawah. Untungnya uap dari air panas tidak terlalu tebal, sebab kalau tebal jarak pandang mata cukup mengerikan. Jika, salah berpijak bisa-bisa jatuh ke jurang. Hasby, Ipul, Pungki, bersama Zahra berangkat duluan, merasa Zahra mulai agak sadar untuk diajak jalan. Baru gilirian kami. Saat aku mulai melangkah, percikan air panas itu menyentuh kaki. Panasnya sungguh sangat mengganggu, harus menahan sampai diujung penyebarangan.
Kondisi badan mulai kelalahan, aku juga mulai kelelahan meraskan bahu yang lumayan perih mengendong dua keril depan dan belakang. Perjalanan masih panjang, gelapnya hutan benar gelap. Waktu itu, kami banyak melewati tenda para pendaki yang singgah di setiap pos yang menyediakan tempat untuk mendirikan tenda. Suara hewan malam semakin keras memecah kesunyian malam, kami berempat tidak banyak bicara hanya terus berjalan dan berjalan hingga sampai ke bascampe.
Malam itu, aku hanya bisa terdiam dan terus melantunkan ayat al-Qur’an di dalam hati. Sambil menikmati suasana malam di tengah hutan yang gelap gulita. Aku sempat mendengar alasan makhluk gaib itu merasuki  tubuh  Zahra. Kata Hasby, gara-gara mereka (Zahra dan Dila) berbicara yang tidak sopan dan membuang sampah bukan di tempatnya. Hingga membuat si pemilik kawasan itu sedikit menegor lewat Zahra.
Walah, kami dan khususnya aku harus berintropeksi bahwa tidak hanya manusia aja yang bertamu ke tempat yang belum didatangi atau memasuki daerah orang harus bersikap sopan kalau tidak malah menjadi sebuah cibiran bagi masyarakat tersebut. Dan hal itu, ternyata sama halnya memasuki kawasan hutan, tentu sopan santun cukup diperhatikan agar penghuni hutan itu sungkan . Ambil hikmahnya.
Lima jam berjalanan akhirnya kami sampai di basecamp. Waktu sudah menujukan angka satu pagi, pendakian kali ini mungkin yang paling lama dan pertama kalinya pendakian lama. Ini menjadi pengalam yang paling berharga, dimana kita harus memiliki sopan santu bertemu atau bertamu ke tempat yang pertama kali dikunjungi.

You May Also Like

1 komentar