Mistis dan Keindahan Gunung Gede Pangranggo #1
Pendakian kali
ini, terinspirasi dari buku Kompas Traveller berjudul Asia &
Australia karya Myrna Ratna seorang penulis traveller di Kompas. Dari beberapa
tulisannya, ada salah satu tulisan yang aku sukai yakni gunung di Jawa Barat
Gunung Gede Pangranggo, cara menggambarkan suasana lewat kata-katanya yang
membuat aku terhasut untuk mengunjungi tempat tersebut. Terutama yang membuatku
penasaran soal Alun-alun Suryakencana, aku baca sambil membayangkan bagaimana
suasana di sana sampai search di google. Saat melihat foto-foto yang
tampil begitu, mantap.
Setelah
membaca tulisan Mbak Myrna, teman menawariku ikut open trip pendakian
Gunung Gede Pangranggo, bulan Juli 2017. Kebetulan panitiannya temanku. Dan saat
itu juga, aku langsung menerima tawaran tersebut. Aku membayangkan tulisan Mbak
Myrna seperti membawaku berada di tengah Alun-alun Suryakencana dan Puncak Gede,
begitu kira-kira. Beberapa bulan keberangkatan, kebiasaanku sebelum berangkat, biasanya
search soal jalur pendakian dan juga mitos di Gunung Pangranggo. Aku pilih bulan Juli, karena pada bulan Juli bunga-bunga Edelwis sedang bermekaran.
Sabtu tanggal
22 Juli 2018, pukul 03:10 WIB, sampailah aku di Cibodas bersama 30 rombongan.
Kami di sambut udara dingin Cibodas. Aku memesan segelas susu panas untuk
mereda dingin, sambil memandang bulan tertutup oleh bayangan bulan. Indahnya
malam ini, semoga esok hari lebih indah, gumam dalam hati. Suasana malam, di
basecamp cukup ramai pendaki berdatangan dari berbagai daerah menggunakan
kendaraan bermacam-macam, ada yang memakai motor dan ada juga membawa mobil. Sedangkan,
kami membawa truk TNI. Yah, cukup berkesan sekali, karena loba gede atau kecil
dihantam terus. Itu yang membuatku rada kesal.
Panitia
memilih jalur Cibodas karena jalurnya mudah dan landai cocok untuk pendaki
pemula. Kebanyakan rombongan masih pemula, Aku dan beberapa teman cukup memperhatikan,
yang terpenting semuanya sama-sama bahagia dan menikmati pendakian
bersama-sama.
Selepas salat
subuh, aku dan teman-teman kelompok 3 bersiap-siap. Di kelompok 3, aku teman-teman
Kp. Lengkong Gudang; Wandi, Budi, Pungki, Zahra, Hasby, dan Dila. Walapun satu
kampung tapi tak banyak yang kukenal, karena kelaman tinggal di daerah orang.
Mungkin dengan satu kelompok ini, perkenalannya lebih erat. Itulah asyiknya mendaki
bersama orang baru dikenal.
Kami mulai
memasuki hutan, pemandangan pohon-pohon tinggi berjejeran di tepi jalur
pendakian, burung-burung saling bersahutan di pagi yang gelap. Perlahan kami
melangkah dijalur bebatuan yang tersusun rapih. Bunga-bunga berwarna ungu
bermekaran di pinggir jalur. Hari ini, kami akan melewati tujuh shalter dengan
jarak tempuh sekitar 5 jam perjalan, itu waktu paling lama menurut teman.
Karena kami mendaki bersama rombongan dengan orang-orang yang baru pertama
mendaki. Biasanya kisaran 3 jam sampai di tempat kemah Kandang Badak.
Cahaya mentari
mulai menembus sinarnya di sela-sela dedaunan. Semakin pagi suara hewan semakin
ramai, wajar saja Gunung Gede ini memiliki fauna yang cukup banyak dari
gunung-gunung yang lain. Sekitar 100 jenis hewan yang tinggal di Gunung Gede.
Dari 100 jenis hewan, aku hanya bertemu si hewan kecil dan imut tupai dan
burung sejenis gagak berwarna hitam.
Empat puluh
menit berjalan, sampailah kami di Pos Telaga Biru. Terlihat shalter berdiri
tegak berwarna hijau, tempat istirahat untuk pendaki. Badan yang terasa lelah kami
beristirahat, menikmati air segar yang mengalir dari atas gunung. Sambil
istirahat kumelihat dan menikmati Telaga Warna yang tidak jauh dari jalur
pendakian. Konon air yang terkumpul di telaga warna memiliki zat mineral yang
sangat tinggi dari tumbuhan organis dan batuan atau tanah vulkanik yang
terlarutkan. Telaga yang berukuran 5 hektar tempatnya bersembunyi permukaanya di
kelilingi oleh gangga biru di permukaanya. Beberapa sumber yang kubaca sebelum
berangkat.
Terasa
istirahat cukup, kami melanjutkan perjalanan menuju pos selanjutnya. Jalur
bebatuan yang tersusun rapi terus kujejaki.
Semakin siang, rombongan pendaki kian bertambah dan mendahuli kami. Bertegur
sapa pun terjadi dengan rombongan lain, kami saling menyemangati dengan
rombongan lain untuk terus melanjutkan perjalanan. Matahari perlahan mengeser
ke arah Timur, dari kejauhan terlihat jembatan beton dan di pinggirnya banyak
pohonan rimbun. Di bawah jembatan yang sekiranya 200 M panjangnya ini,
merupakan Rawa Gayonggo saat kuberjalan di atas jembatan ini terdengar derasnya
air sungai yang mengalir dari kaki Gunung Gede Pangranggo. Suasana di atas
jembatan ini cukup indah dari atas jembatan, bisa melihat puncak Gunung
Pangrango dari kejauhan. Udara yang begitu sejuk membuatku ingin berlama-lama
di tempat ini. Aku pun tak lupa untuk mengabadikan dua jepret foto berlatarkan
pucuk gunung pangranggo. Tapi sayang, selama melewati jembatan ini banyak
lubang besar di sepanjang jembatan, sangat beresiko tinggi bila tidak
berhati-hati bisa saja kaki terperosot ke bawah.
Jembatan 200 M
ini, kami lewati bersambung kembali ke jalur bebatuan. Dari Rawa Gayonggo, akan
bertemu pos Panyangcangan mempertemukan jalur menuju Air terjun Ciberum. Sempat
penasaran ingin melihat air terjun Ciberum, sepertinya niat itu aku pendam
dulu. Mungkin satu hari nanti bisa kembali dan menyambangi air terjun Ciberum. Di
Pos Panyangcangan ada petugas yang menjaga, meminta nama-nama rombongan. Aku
sempat deg-degan soal perlengkapan, pasalnya peraturan di sini harus menggunakan sepatu gunung. Sedangkan, aku tidak menggunakan sepatu
gunung hanya sendal Eiger biasa dipakai. Agar tidak ketahuan aku duduk di batu
berukuran besar, lalu kaki dirapatkan dan badan berlawan arah dari pos. Waktu
itu, ada dua rombongan pendaki yang berkumpul di Pos Penyangcangan antri untuk
memberikan laporan kepada rombongan masing-masing. Sekira 10 menit, akhirnya
giliran kelompok 3 melaju. Aku perlahan menyelip dengan maksud agar tidak
ketahuan, setelah melewati Pos Panyangcangan mulai lega.
Kami terus
berjalan, jalurnya sama seperti sebelumnya hanya saja bebatuan yang tersusun di
sepanjangn jalur mulai tidak beraturan dan tingkat kemiringan mulai kami
rasakan. Begitupun tanjakan perlahan membuat betis dan bahu merasa nyeri.
Untung saja dari Pos Panyangcangan menuju Pos Rawa Denok, kami diberikan jalur
landai lumayan panjang suatu kebahagian bagi pendaki. Istirahatlah kami di Pos
Rawa Denok, di sini kami beristirahat sambil memasak sosis dan nagget. Karena
perut sedari tadi keroncongan, setelah membawa tas keril yang lumayan beratnya.
Canda dan tawa pun menghiasi istirahat kami. Sambil memijat dan diolesi krim
peredam pegal-pegal begitu nikmat. Tak sengaja tempatku istirahat ada penjual
uduk dan minuman. Hal ini sudah rumlah di gunung sekitara Jawa, ini kali kedua aku
bertemu dengan penjual. Iseng-iseng teman membeli nasi uduk kuning, saat nasi
itu masuk ke perut seperti bukan nasi biasanya. Aku pun mencoba merasakan satu
suap dan ternyata nasinya terasa dingin dan kaku. Kami pun tertawa saat
merasakan nasi kuning itu. Tapi apalah daya namanya di gunung apapun makanannya
pasti di makanan aja. Di pos Denok kami lumayan lama beristirahat hingga satu
rombongan telah mendahului kami.
Setelah perut
terisi tenaga mulai terkumpul kembali, kami pun melanjutkan perjalanan. Satu
per-satu pos kami lewati Rawa Denok 2, Batu Kukus 1, Batu Kukus 2, Batu Kukus
3, di setiap pos kami merebahkan badan sejenak. Dan sampailah kami di air
terjun panas. Di sini aku, merasakan hal berbeda dari biasanya,yakni melewati
air terjun panas lalu yang sampingnya jurang begitu dalam. Perlahan kami saling
bergotong royong satu sama lain berpegangan erat. Saat giliranku, kaki mulai
melangkah dari batu ke batu hawa panas begitu membakar kulit, percikan airnya
hinggap di kulit betis bener panas. Saya harus menahan itu, kepulan asap dari
air panas sangat menutupi jalan untung saja waktu itu begitu cerah, jadi tidak
begitu sulit. Kami pun istirahat lagi, tidak jauh dari shalter ada air terjun
panas tidak terlalu besar bisa dinikmati oleh para pendaki. Saat kedua kaki
kucelupkan di aliran air terjun tersebut, begitu amat sangat nyaman banget.
Walapun airnya tidak begitu panas tapi lumayan bisa menyegarkan badan. Sekira 5
menit merendam kedua kaki dan mencuci muka dan melanjutkan perjalanan.
Di sepanjang
jalan menuju pos selanjutnya, banyak tempat untuk ngecamp dan tempatnya cukup
luas. Tidak begitu jauh dari air terjun, sekitar 15 menit. Kami sampai di
Kandang Batu, di sini lumayan luas
tempatnya cukup menampung 10 atau lebih tenda. Untuk mempercepat waktu Kami pun
labas melewati Pos Kandang Badak, karena sadar tadi kami banyak berhenti.
Semakin lama pepohonan dan tumbuhan begitu rapat di tepi jalur, cahaya matahari
pun sulit menebus masuk. Kini bebatuan di setiap jalan mulai jarang, lebih
mendominasi tanah merah. Tidak lama kemudian bertemu lagi air terjun aggak
pendek, namun suara jatuhan airnya begitu keras terdengar dari kejauhan. Air
terjun itu bernama Panca Weulueh. Kedua wanita muda ini berhenti kelelahan,
kami pun bersitirahat di samping air terjun sambil memotong buah semangka untuk
mengisi tenaga. Capek dan lelah menjadi satu, aku melihat jalur pendakian
berkelok bak sirkuit motor GP. Merasa istirhat cukup, lalu melanjutkan
perjalanan menuju Kandang Badak.
Dari air
terjun panas, lumayan jauh menuju Kandang Badak. Sekira satu jam lebih berjalan,
dari kejauhan terdengar suara manusia ramai-ramai. Ternyata kami memasuki Pos
Kandang Badak, tempat favorit para pendaki untuk ngecamp. Waktu itu, banyak
sekali tenda yang didirikan di pos ini. Sesampainya di pos Kandang Badak, kami
mencari rombongan yang sudah sampai di Kandang Badak, ke sana kemari. Karena
banyak sekali tenda yang didirikan kami sempat bingung. Hasby teman satu
kelompok memanggil rombongan, ternyata kami kebagian paling pojok tempat ngecamp.
Cukup menyeramkan tempatnya.
Matahari sore
tenggelam ke timur, berubah menjadi gelap udara semakin dingin merasuki jaket
yang sedemikian tebal. Kami pun menyalahkan kompor dan memasak air untuk
meredakan suasana yang amat dingin itu. Malam semakin mencekam. Di rombongan
kami ada dua perempuan pemula namanya Zahra dan Dila, Hasby merasa cemas dengan
kedua perempuan tersebut. Maka di putuskan untuk tidur di depan tenda mereka
berdua. Di khawatirkan terjadi sesuatu. Tawa dan canda malam itu kami rasakan
begitu senang dan bahagia. Usai makan dan menghangatkan badan dengan segelas
susu dan teh manis membuat kami terlelap tidur.
Udara yang semakin dingin,
tiba-tiba di samping tenda saya terdengar keriuhan.
Srrekk...sreekk
“Wan, lagi
boker yah,”sangka Hasby sambil menyorot senter ke samping tenda.
Sumber suara
yang terdengar dari samping tenda Ipul membuat Hasby sedikit terganggu. Karena
penasaran Hasby keluar menyorot dengan senter sumber suara tadi. Ternyata suara berisik
samping tenda Ipul dan kawan-kawan, ternyata babi hutan yang amat besar. Hasby pun kaget
langsung menutup pintu tendanya.
“Anjirr, babi
hutan gede banget.” suara Hasby lantang
Mendengar keriuhan itu Ipul
tiba-tiba bangun.
“Ada apa, By?”
tanya Ipul dalam tenda
“Babi hutan,
gue kira si Wandi lagi boker.” Ungkap Hasby dan Ipul tertawa dengan lepas
mendengar ceritanya.
Selang 10
menit, kali ini babi hutan menyatroni tenda Ipul dan Hasby. Ipul yang mendengar
suara seperti babi terdiam tak bisa berkata-kata. Membiarkan babi itu memakan
bekas nasi di depan tenda tadi Ipul. Setelah menyatroni tenda Ipul, kini babi hutan itu menyebrang
menuju tenda Hasby, Zahra, dan Dila. Dengan sigap Hasby menbentak dengan
mengebuk-gebuk tanah. Babi itu pun ngacir pergi dari tenda. Malam semakin sunyi
dan hening hanya ada suara binatang malam saling berkomunikasi serta dinginnya
malam di Kandang Badak.
bersambung...
0 komentar